BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Sri Astuti, wanita berumur 42 tahun itu masih ingat betul, bagaimana pertama dia belajar membatik. Tiga tahun silam, tepatnya Oktober 2012, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), Sri dan 60 ibu-ibu rumah tangga, serta perempuan muda putus sekolah di sekitar Kecamatan Rumbai, ikut dalam pelatihan dan pendidikan membatik.
Di tempat ini, mereka diajarkan keterampilan dasar membatik. Mulai dari desain awal, cantingan, bahkan tahap lorot setelah melakukan pewarnaan pada kain. “Dari 60 orang yang ikut dalam pelatihan itu, terseleksi 30 orang yang bertahan,” katanya kepada bertuahpos.com, Senin (22/06/2015).
Setelah mengikuti pelatihan itu, cukup lama Sri kebingungan. “Apa yang harus saya buat,†sambungnya. Sembilan bulan lamanya. Baru pada Juni 2013, Sri dipanggil kembali untuk ikut bergabung dalam aktifitas Rumah Batik Cempaka, yang terletak di dalam kompleks perkantoran dan pemukiman perusahaan migas, PT Chevron Pasific Indonesia di Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, Riau.
Sri punya pengalaman menarik. Saat pertama Rumah Batik Cempaka berdiri, dia dapat order dari seorang pelanggan. Setelah hampir satu minggu bergelut dengan tinta dan cantingan, batik pesanan itupun selesai. Namun sayangnya, bukan sejumlah uang yang dia terima dari orderan itu, konsumennya malah mengembalikan hasil kerajinan batik kepada Sri. “Salah buat motif, saya. Terpaksa diubah lagi,” katanya.
Berbagai proses serta tahapan membatik memang dilakukan bersama-sama. Hasil kerajinan mereka ada yang berbentuk kain, syal, sajadah, tas, pemina dan beragam jenis lainnya. Motifnya pun beragam. Ada motif pompa angguk, pucuk rebung, tapak manggis, atau loreng macan. “Penekan motifnya, khas Melayu yang kami tonjolkan,†ujar Sri.
Dari membatik tersebut, Sri sudah berhasil sekolahkan anaknya hingga ketingkat SMK, dan menopang perekonomian keluarga. Kalau lagi banyak order, penghasilan perbulannya Sri di atas Rp 1 juta.
Pendampingan yang dilakukan PT Chevron dalam pelatihan itu, mulai dari pengenalan alat, teknik membatik, hingga pembentukan koperasi untuk pemasarannya. Mereka diperkenalkan dan dilatih mengenai peralatan serta teknik membatik, teknik pewarnaan, serta pencucian. Semua bahan yang dipakai adalah bahan alami, tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya.
Kini, jari-jari ringkih Sri dan sejumlah ibu-ibu lainnya sudah terampil menggunakan teknik mewarnai di atas kain, mengikuti alur desain yang dipersiapkan sebelumnya. Dari aktivitas membatik mereka lakoni hampir setiap hari, siapa sangka, sentuhan Migas lewat bantuan program CSR membawa cerita baru bagi Sri dan teman-temannya. “Tapi minggu kemaren libur, karena menyambut Ramadan,” ujar Sri.
Rumah Batik Cempaka, hanyalah salah satu contoh dari unit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Riau yang merasakan sentuhan perusahaan migas melalui program CSR PT Chevron.
Community Engagement PGPA Chevron Rumbai, Vivin Herlin Fendraswari mengatakan, perusahaan mereka begitu menyadari bahwa peran ekonomi kerakyatan, akan memberi dampak besar terhadap kelangsungan hidup orang banyak.
Bagi perusahaan, pergerakan aliran dana program CSR untuk sektor pereknomomian cukup besar, yaitu lebih kurang 40 persen. Sedangkan 60 persen sisanya, dialokasikan pada sektor pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan lingkungan.
“Dana CSR kami memang diprioritaskan untuk pertumbuhan ekonomi kreatif atau UMKM,” katanya.
Di Riau, lebih kurang ada seratus lebih pengembangan unit usaha masyarakat yang mendapatkan suntikan dana Program CSR Chevron. Sebagian besarnya adalah unit usaha yang bergerak di bidang perkebunan, dan tersebar bebepapa kabupaten/kota di Riau.
Vivin mengatakan, untuk meningkatkan taraf hidup perekonomian masyarakat tidak selamanya harus dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam perusahaan berskala besar.
Lewat pengembangan UMKM atau jenis usaha kerakyatan, seperti Rumah Batik dan usaha pada bidang ekonomi perkebunan, justru menjadi langkah strategis bagi masyarakat untuk belajar mandiri dan tidak menggantungkan perekonomian mereka pada satu tumpuan. Misalnya ditempat bekerja saja.
“Upaya yang kami lakukan tidak lain hanya bertujuan agar masyarakat sekitar perusahaan, juga bisa memperoleh pendapatan tinggi untuk menopang perekonomiannya,” ujar Vivin.
Seperti Rumah Batik Cempaka. Dia menegaskan untuk tahap awal, usaha ini memang bergerak atas bantuan dana Program CSR dari PT Chevron. Namun bukan berarti, suntikan dana ini mengalir terus menerus.
Pihaknya sudah menyusun strategi program kemandirian dari usaha membatik ini. “Salah satunya, pada Agustus 2015 nanti, kami akan bentuk galeri batik Riau, di Jalan Sembilang, Pakanbaru,” tambahnya.
Langkah awal kemandirian itu perlahan sudah mulai terlihat. Hasil karya para ibu paruh baya ini justru terserap dengan sendirinya di lingkungan perusahaan. “Mereka sudah mulai banyak mendapat order dari internal perusahaan,” sambungnya.
Ekonom Riau Peri Akri berpendapat bahwa program sosial kemasyarakatan yang dikucurkan perusahaan-biasanya dalam bentuk bantuan CSR–sudah selayaknya menyentuh langsung ke sasaran. Kalau anggaran tersebut tersalurkan secara baik, 90 persen pengembangan usaha untuk satu UMKM akan terbantu.
Hingga saat ini, 80 persen dari struktur perekonomian Indonesia masih dikendalikan sektor UMKM. “Cuma terkadang yang menjadi problem itu pada pengelolaannya,” kata Peri.
Pengelolaan program CSR yang baik akan memberikan multiplayer efek yang besar terhadap UMKM . “Poin pentingnya menurut saya adalah tanggungjawab dari pengalokasian dana itu,” sambungnya. “Harapan perusahaan pastilah dana ini bisa terkelo denga baik, dan tepat sasarannya.”
Dari kucuran dana Program CSR PT Chevron untuk sektor ekonomi kerakyatan dan UMKM. Menurutnya, peran Pemerintah Riau dalam hal ini seharusnya berada dalam posisi pengambil kebijakan yang relevan dalam mendukung upaya pengembangan ekonomoni di Riau.
Pemerintah Provinsi Riau baru-baru ini mengeluarkan pernyataan, sektor UMKM di Riau bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan daerah, terutama di tengah pengurangan Dana Bagi Hasil (DBH) Riau yang cukup besar tahun ini. Salah satu sektor dari UMKM itu adalah kuliner, dan produk industri keratif.
Menurut Ketua Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Riau, yang juga menjabat sebabai Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Masperi, seharusnya sektor ini menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan daerah. “Padahal, selain migas dan sawit, sektor makan dan UMKM di Riau bisa meningkatkan PDRB,” katanya.
Dari perkiraannya sektor ini bisa menyumbang 32 persen untuk Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB. Angka ini adalah sumbangan yang cukup tinggi. Setidaknya sektor ini sedikit banyak akan menekan kekhawtiran pemerintah di tengah menurunnya harga migas dan sawit. “Kami yakin, sektor ini bisa digenjot lagi,” sambungnya.(melba)
Â