BERTUAHPOS.COM (BPC) – Konon, sebagaimana tergambar dalam perilakunya, keadaan jiwa Jalaluddin ar-Rumi hanya bisa merasa tentram bila ditemani seorang sahabat yang sesuai dan mau memahami keadaannya. Gurunya yang lain adalah Sayid Bahauddin, orang pertama dari tipe sahabat semacam itu. Wajarlah ketika Sayid Bahauddin meninggal dunia, Jalaluddin merasa amat kesepian. Jiwanya menjadi kosong. Hidupnya seperti kehilangan gairah. Keadaan yang cukup memprihatinkan itu berlangsung sampai lima tahun.
Saat seperti itulah Syamsuddin Tabriz datang dan mengisi kekosongan jiwanya. Laki-laki itu memberikan semangat baru. Tapi, ketika Syamsuddin pergi meninggalkannya, Rumi pun kembali merasakan goncangan jiwa yang dahsyat.
Kegalauan dan rasa gundah senantiasa mewarnai hatinya. Saat itulah datang Shalahuddin dan Hasamuddin sebagai penawar kesusahan. Jadi, segala potensi yang ada dalam jiwa dan fitrahnya selalu memerlukan seseorang untuk mempengaruhi dan menggerakkannya. Dalam konteks ini, maka penulisan sajak-sajak Matsnawi hanyalah merupakan upaya pemenuhan moral terhadap panggilan batinnya.
Usahanya memilih teman penangkal seperti Shalahuddin dan Hasamuddin bukanlah semata-mata karena keduanya orang yang alim, zuhud dan mulia. Tetapi terutama karena antara Rumi dan mereka terdapat unsur kesamaan dan kepentingan. Sejiwa dan sehati. Itulah sebabnya mengapa ia memilih keduanya sebagai teman istimewa.
Jalaluddin ar- Rumi mengatakan: “Cinta yang tumbuh di atas dasar kebersamaan tidak akan menimbulkan rasa sesal di dunia dan akhirat. Karena itu, orang bercinta yang hatinya tidak tersentuh rasa kebersamaan akan mudah berkata: ‘Kalau saja saya tidak menjadikan si Fulan sebagai kekasih’. Sedangkan yang mendasarkan cintanya adalah pada rasa kebersamaan, maka tidak akan terjadi perpisahan, permusuhan, penyesalan, dan celaan di antara mereka.
Allah SWT berfirman: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa. (az Zukhruf, 67).
Sedang menurut Jalaluddin: “Sesungguhnya rasa kebersamaan inilah yang telah menciptakan keimanan dalam diri para sahabat Nabi, sehingga jiwa mereka tertambat pada Rasulullah saw. Dan rasa kebersamaan ini pula yang mempertebal keimanan orang-orang Islam terdahulu. Banyak sekali pengaruh positif yang timbul dari rasa kebersamaan ini.” (jss/bersambung)