BERTUAHPOS.COM, PEKANBARUÂ – Ibu Kartini memang sangat fenomenal. Berjuang dan berjasa di zamannya, demi kesetaraan gender, bahwa wanita punya hak sama dengan pria.
Alhasil, baik politisi, pejabat, manager, bahkan hampir semua profesi saat ini, tak hanya digeluti oleh pria, tapi juga kaum hawa.
Jatuh pada tanggal 21 April 2019 ini, Hari Kartini dimaknai dengan berbagai persepsi dan untaian harapan menjulang. Itulah yang menghiasi layar kaca dan dunia internet.
Namun tidak banyak yang tahu, bahwa ada seorang istri sekaligus ibu yang rela turun ke hutan belantara nan jauh dari hiruk pikuk kota, bertaruh nyawa untuk memadamkan api di lahan terbakar.
Terpaan asap dan teriknya hawa panas tak dia hiraukan demi satu tujuan, yakni supaya masyarakat di luar sana bisa hirup udara sehat. “Pantang pulang sebelum asap hilang.†Itulah moto sekaligus prinsip yang selalu dijunjung tinggi.
Dialah Sahriyanti (34), ibu dari anak dan istri dari sumainya. Seorang kartini yang berprofesi sebagai anggota Manggala Agni, Daerah Operasional (Daops) Kabupaten Siak, Riau. Oleh rekannya, dia akrab disapa Yanti.
Pada Rabu, 10 April 2019 lalu, sama dengan anggota Manggala Agni lainnya, dengan sumringah dia tak segan berbagi kisah tentang jerih payah tatkala ikut padamkan api yang melahap puluhan bahkan hingga ratusan hektar lahan di daerah operasional Manggala Agni Siak.
Tutur bicaranya menggambarkan bahwa segudang pengalaman selama menjadi anggota Manggala Agni bukan sebuah beban, melainkan kebanggan. Sebab dia yakin, tak semua orang mengalaminya.
Selama menggeluti pekerjaan ini, tidak kurang dari 10 titik lokasi kebakaran sudah dijejalinya, sebagian besar lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) berada di tengah hutan belantara.
Yang paling berkesan baginya saat terlibat menjinakkan api pada peristiwa kebarakaran hebat tahun 2015 lalu. “Itu yang paling berkesan. Karena kebarakan lahan ketika itu sangat besar,” ungkapnya.
Yanti bersama anggota Manggala Agni lain dari Daops Siak diturunkan ke daerah Mengkapan dan Dayun. Kedua desa ini terletak di kecamatan berbeda. Desa Mengkapan berada di Kecamatan Sungai Apit,. Sedangkan Dayun, terletak di Kecamatan Dayun di Kabupaten Siak, Riau.
Dia berkisah, wilayah yang terbakar merupakan lahan kosong yang tak jelas siapa pemiliknya. Ketika Yanti dan petugas lainnya turun, api terlihat sudah begitu ganas melahap benda apa saja yang dilintasinya.
Dari jalan utama, seluruh petugas ini harus menelusuri langkah demi langkah jalur setapak tanah gambut yang kering dan berdebu. Mereka berjalan hingga beberapa kilo meter menuju titik lokasi lahan terbkar itu.
Tiupan angin kencang seolah memberi isyarat bahwa cuaca sedang tidak bersahabat. Kobaran api kian berkecamuk, tampak begitu deras membakar rerumputan, dedaunan hingga kayu-kayu kering.
Hanya dalam jarak beberapa meter saja, tubuh Yanti dan anggota Menggala Agni lainnya menghilang ditelan asap tebal.
Langkah pertama yang harus dilakukan, yakni mencari sumber air. Ketika itu, dia bercerita, Riau sedang dilanda el-nino (musim panas panjang). Sumber air sangat sulit ditemukan. Parit-parit kecil, dan kolam mengering. Mereka harus berjalan jauh dengan membawa mobil tangki untuk mengambil air, kemudian kembali lagi ke lahan terbakar itu.
Di tengah kobaran api dan kepulan asap, wajah anak dan suaminya terus bermain di benak Yanti. Dia bahkan tak kuasa membayangkan andai kata anaknya terkapar di rumah sakit karena menghirup udara tidak sehat akibat Karhutla.
“Semua anggota di lapangan bekerja tanpa henti secara bergilir,” ungkapnya mengenang peristiwa itu. Sebelum asap hilang, dia dan rekannya tak akan pulang.Â
Dalam situasi seperti ini, Yanti dan rekan-rekan sejawatnya sudah biasa telat makan, bahkan tidak mandi. Selama beberapa hari seragam merah menyala kebanggaan Manggala Agni ini, berubah pudar menjadi kusam. Harmpir seluruh bagiannya tertutup debu, bercampur lumpur dan aroma asap menyengat.
Bahkan terkadang, mereka lupa tidur semalaman. Hal itu pernah juga dialaminya ketika menjinakkan api di salah satu lahan terbakar pada malam hari.
Saat malam tiba, namun api belum juga padam, mereka harus bermalam. Merebahkan tubuh di atas rerumputan atau daun-daun kering, menatap jauh ke langit berharap ada awan hujan. Dia hanya bisa tidur sejenak, kemudian kembali bagun menggantikan rekan lainnya untuk memadamkan api.
“Itulah kendala yang kami alami di lapangan,” tutur Yanti
Pengalaman lain yang pernah dialaminya, yakni berbagi sebungkus nasi dengan 3 sampai 5 orang. Karena lokasi lahan terbakar biasanya berada jauh dari pemukiman warga. Kalau sempat mereka beli nasi bungkus, tapi jika tidak memungkinkan, mereka masak bahan seadanya untuk mengganjal lapar.
“Kadang baru makan siang jam 3 sore. Udah biasa kami,” tuturnya.
Yanti sudah 13 tahun tergabung sebagai anggota Manggala Agni. Statusnya sebagai seorang ibu dan istri bukan sebuah halangan untuk mengabdi buat negeri. Bahkan pekerjaan ini sudah dilakoninya sejak dia masih lajang.
Ketika masih sendiri, sebelum turun ke lokasi lahan terbakar, dia sungkem ke orang tuanya, meminta izin dan berharap doa agar diberi keselamatan. Sebab acap kali kondisi dan situasi di lapangan membuat dia kalang kabut.
Saat ini Yanti adalah anggota Bagian Perlengkapan Sarana dan Prasarana, Manggala Agni Daops Siak. Dia menuturkan, terkadang hasratnya kembali menggebu ingin bergelut dengan peralatan pemadam api tatkala melihat anggota lain berkemas barang sebelum turun ke lapangan.
Dia meyakini, menjadi anggota Manggala Agni, bergelut dengan api dan asap merupakan panggilan jiwa. Dengan penghasilan per bulan hanya Rp2,5 juta (potong BPJS Rp50 ribu), tentu saja lembaran-lembaran rupiah itu tak ada artinya jika dibanding dengan bahaya yang dihadapinya.
Mejinakkan api dan ancaman binatang buas di tengah hutan setiap saat mengintai nyawa. Apalagi dalam beberapa kasus pemadaman Karhutla di Riau, ada yang menelan korban jiwa dari kalangan petugas pemdaman. “Padahal penghasilan suami saya juga tidak menentu, maklumlah,” ujarnya sambil tertawa.
Bagi Yanti memadamkan api di lahan terbakar sebuah pekerjaan mulia. Jika asap tak ada, seluruh masyarakat di Riau bisa hidup dan beraktivitas dengan tenang. Bisnis tak merugi, transportasi aman, anak-anak bisa sekolah seperti biasa, dan para petani bisa turun ke ladang dengan lega tanpa merasa khawatir akan jatuh sakit.
Beruntung, Yanti punya keluarga yang luar biasa. Orang tuanya sejak awal dia memilih abdikan diri di Manggala Agni tidak pernah melarang, sebab ayah dan ibunya mengerti bahwa pekerjaan ini berdampak sosial yang meluas.
Sang suami juga tak pernah berang dengan kesibukannya. Dan sang anak tidak pernah merengek karena sedikit waktu bersama ibu. Tapi hal yang paling mengharukan bagi Yanti, tatkala mengetahui bahwa anaknya ternaya begitu mengidolakan sang ibu dengan pekerjaannya sebagai seorang Manggala Agni.
“Anak saya, ketika di sekolah ditanya sama gurunya, cita-cita kamu mau jadi apa? ‘Saya mau jadi seperti ibu, pemadam api,” tutur Yanti yang menirukan ucapan anaknya.
“Membanggakan dan sangat mengharukan bagi saya sebagai seorang ibu,†sambungya. Itu diketahui ketika guru yang mengajar anaknya bercerita kepada Yanti pada satu kesempatan.Â
Yanti hanya satu dari sekian banyak Kartini yang mengabdi untuk negeri. Sedikitpun tak pernah terlintas di benaknya kalau suatu saat dia bisa menggenggam medali atau meraih penghargaan dari siapapun. Dia juga tak pernah bermimpi menjadi populer karena diliput media. Juga tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan nasibnya kedepan.Â
Harapannya sangat sederna namun begitu bermakna. Keluarganya bisa makan, dan anaknya bisa berangkat ke sekolah setiap pagi, tanpa khawatir dengan asap Karhutla. Itu saja. (bpc3)