BERTUAHPOS.COM, SURABAYA. Tren penurunan harga minyak dan komoditas lainnya di pasar internasional diperkirakan akan terus berlanjut di tahun 2015. Kondisi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Antara lain, masih melambatnya pertumbuhan ekonomi di sejumlah emerging country, bertambahnya cadangan minyak Amerika Serikat (AS), dan belum stabilnya geopolitik di Timur Tengah.
Selama ini, negara-negara emerging country seperti China menjadi negara dengan permintaan terbesar terhadap sejumlah komoditas di dunia. Pada 2015, negeri Tirai Bambu ini diperkirakan akan kembali mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Direktur Departemen Kebijakan ekonomi dan moneter Bank Indonesia (BI) Solikin M. Juhro mengatakan, kondisi makro ekonomi Indonesia akan terkena dampak tidak langsung dari pelambatan ekonomi China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Meskipun, Â BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun depan masih berkisar 5,4%-5,8%.
Menurut Solikin, pelemahan harga minyak juga akan berdampak terdepresiasinya sejumlah mata uang terhadap dollar AS. Tak terkecuali nilai tukar rupiah, yang diperkirakan akan melanjutkan pelemahannya pada tahun depan.Â
Penurunan harga minyak mentah dunia mendesak investor dunia mengalihkan sahamnya ke sektor yang lebih aman. Satu-satunya pilihan yang aman ialah  dollar AS. “Penurunan harga minyak membuat nilai tukar dollar AS menguat karena sebagai save heaven,” kata Solikin, Sabtu (13/12) di Surabaya, Jawa Timur.
Menguatnya nilai tukar dollar AS menunjukkan bahwa negara adidaya itu mulai memasuki fase pemulihan. Karena itu, AS diprediksi menjadi mesin utama (single engine) ekonomi dunia yang diharapkan mendorong permintaan komoditas. Pemulihan ekonomi AS sebenarnya menguntungkan Indonesia yang masih mengandalkan AS sebagai pasar ekspor.
BI berharap pemerintah menggenjot sektor manufaktur agar menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah penurunan harga komoditas dunia.Â
Untuk menguatkan sektor ini diperlukan kebijakan komprehensif dari pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan suku bunga rendah, namun juga pemberian insentif. Â Â
Hanya saja, kata Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko, perbaikan ekonomi AS yang lebih cepat, bisa diartikan semakin cepat pula kemungkinan Bank Sentral AS, The Federal Reserve (Fed) melakukan kebijakan normalisasi. Ini akan mendorong capital outflow dari  pasar keuangan Indonesia.
Jika ini terjadi, jelas akan memengaruhi pasar keuangan dan pasar surat utang dalam negeri. Apalagi, tahun depan pemerintah masih membutuhkan pembiayaan dari penerbitan surat berharga negara (SBN).
Selain itu, penurunan harga minyak juga berefek ke melesunya investasi minyak. Banyak perusahaan minyak dan gas yang menunda rencana ekspansi. Tak hanya di global, sangat mungkin juga terjadi di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan lesunya ekonomi China, konsumen besar komoditas dunia.   (Kontan)