BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – “Mimpi Astra adalah menjadi perusahaan yang terbaik dalam menyediakan produk dan layanan kepada para pelanggan serta bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa†~ Benjamin Arman Suriadjaja ~
KONTEKS pemberdayaan masyarakat yang berada di ring satu perusahaan saat ini bisa dalam berbagai bentuk, dan biasanya disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Dan inilah yang dilakukan oleh PT Sari Lembah Subur (SLS) dengan memberdayakan potensi masyarakat yang berada di lingkungan perusahaan.
Nelayan Peduli Lingkungan (NPL) adalah salah satu bukti nyata kepedulian anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk itu pada masyarakat dengan profesi nelayan yang berada di areal perusahaan.
Kelahiran NPL sendiri berawal dari rasa keprihatinan sejumlah nelayan dimana lokasi mencari ikan mereka, yakni di Sungai Lubuk Bungkuk, Desa Bukit Garam, Kecamatan Kerumutan, kerap terbakar di tahun 2013.
Terbakarnya lokasi itu yang notabene menjadi mata pencaharian mereka jelas membuat para nelayan tak bisa lagi menangkap ikan sebagai mata pencahariannya. Ironisnya lagi, kebakaran yang terjadi di Sungai Lubuk Bungkuk dikarenakan para pendatang atau orang luar yang lalai dalam menjaga lingkungan sekitar.
“Ada sekitar dua tahun kami tak bisa mencari ikan di Sungai Lubuk Bungkuk saat terjadi Karhutla di Riau tahun 2013 itu. Sampai tahun 2015, Riau terus terjadi kebakaran hebat yang terjadi hampir di semua Kabupaten, tak terkecuali di Sungai Kerumutan sampai meluas ke lokasi tempat kami mencari ikan yakni Sungai Lubuk Bungkuk ini. Padahal profesi kami hanya mencari ikan. Sungai Lubuk Bungkuk dan Sungai Kerumutan ini adalah satu-satunya yang menjadi ladang rezeki bagi kami selama ini,†kata Ketua Kelompok Nelayan Peduli Lingkungan (NPL) binaan PT Sari Lembah Subur (SLS), Firman (42), mengenang kejadian beberapa tahun silam itu.
Bagi Firman dan para nelayan lainnya, selama ini Sungai Lubuk Bungkuk yang bermuara ke Sungai Kerumutan itu sudah menjadi urat nadi perekonomian bagi masyarakat di sepanjang bantaran sungai khususnya di Desa Bukit Garam.
Sungai itu telah memberikan para penghuninya rela dijadikan tangkapan bagi mereka. Namun Karhutla yang terus terjadi di sepanjang sisi Sungai Kerumutan hingga meluas sampai ke Sungai Lubuk Bungkuk di sepanjang tahun itu telah meluluhlantakkan sebagian mimpi dan harapan para nelayan.
Sungai Lubuk Bungkuk sendiri merupakan salah satu dari anak Sungai Kerumutan yang berada di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Sungai Kerumutan yang muaranya ke Sungai Kampar ini memiliki jalur yang membelah hutan Suaka Margasatwa (SM) Kerumutan, yang merupakan kawasan konservasi dengan luas total mencapai 1.332.169 ha, dihuni berbagai jenis flora dan fauna khas hutan dataran rendah.
Terletak di dua kelurahan, yakni Kelurahan Kerumutan dan Teluk Meranti. Hutan di kawasan ini dihiasi pepohonan mangrove yang juga dilalui Sungai Kampar, sehingga menjadikannya begitu spesial di antara hutan-hutan lain yang tersebar di Pulau Sumatera.
Pertengahan Desember tahun lalu, media ini bersama orang-orang dari Dinas Perikanan dan Kelautan (Disnakanlut) Pemkab Kabupaten Pelalawan mengunjungi pondok milik Firman yang terletak di tepian anak sungai Lubuk Bungkuk. Kunjungan orang-orang dari Disnakanlut ini untuk mengetahui sejauhmana kehidupan para nelayan yang sehari-harinya mencari ikan di Sungai Lubuk Bungkuk.
“Sebelum terjadi kebakaran hebat di Riau, lokasi ini masih banyak pepohonan, Bang, tidak seperti sekarang mata begitu lepas memandang karena tak ada pepohonan,†kata nelayan lainnya, Alison (35), yang ikut menemani media ini mengunjungi pondok ikan milik Firman di tepian anak Sungai Lubuk Bungkuk.
Sebelum terjadi peristiwa kebakaran, biasanya tiap jam 08.00 WIB sampai jelang sore, Alison bersama rekan-rekan nelayan lainnya mencari ikan di Sungai Lubuk Bungkuk yang masih masuk wilayah perusahaan PT SLS ini. Saat itu, kata Alison, mereka hanya tinggal memasang tajur, perangkap atau semacam bubu di titik-titik yang sudah mereka prediksi sebelumnya.
“Siang atau sore jelang Maghrib, kami lihat lagi perangkap yang kami pasang. Kalau rezeki lagi bagus, biasanya perangkap yang kami pasang sudah penuh ikan Baung, Selais, Toman dan Tunggik. Ikan-ikan itu ada kami konsumsi sendiri dengan cara dibuat salai, ada juga yang dijual ke orang-orang yang datang ke pondok atau dilempar ke pasar-pasar sekitar sini,†kata Alison.
Kata Alison, rumput kumpai yang memenuhi permukaan Sungai Lubuk Bungkuk selain tempat nelayan memasang tajur dan perangkap lainnya, juga rumput-rumput tersebut sebagai tempat ikan bertelur. Karena itulah, para nelayan tidak pernah membersihkannya. Dari literatur yang ada, diketahui juga bahwa rumput kumpai tergolong bagus sebagai bahan pakan ternak.
Nelayan lainnya yakni Jupridin bercerita bahwa kebakaran yang kerap terjadi di wilayah Sungai Lubuk Bungkuk kebanyakan akibat ulah oknum-oknum tak bertanggung jawab. Oknum-oknum tak bertanggung jawab ini bukan berasal dari masyarakat tempatan tapi orang luar desa yang tahu jika lokasi anak Sungai Kerumutan ini banyak ikannya.
Karena bukan asli dari daerah sini, oknum-oknum tersebut tak ada kesadaran dalam menjaga lingkungan sekitar. Mereka terkadang dengan seenaknya saja membuang puntung rokok atau membuat api yang masih menyisakan bara, hingga menciptakan percikan api yang makin lama makin besar.
“Puncak-puncaknya itu sekitar tahun 2013 sampai 2015 sehingga kami tak bisa mencari ikan. Tahun 2016, kebakaran masih ada tapi masih bisa secepatnya ditangani hingga tak meluas. Di tahun 2017, malah nihil kebakaran sehingga kami para nelayan kembali lagi menangkap ikan di sungai ini,†kata laki-laki yang mengaku usianya memasuki kepala 5 namun tak tahu persis usia sebenarnya.
Petaka karhutla di tahun 2013 – 2015 yang terjadi hampir di seluruh Kabupaten/Kota di Riau khususnya di Sungai Lubuk Bungkuk, membuat kekhawatiran tersendiri bagi para nelayan yang berasal dari Desa Bukit Garam, kecamatan Kerumutan, itu. Betapa tidak was-was dan khawatir? Hampir dua tahun mereka tak bisa menangkap ikan karena Sungai Lubuk Bungkuk yang menjadi andalan mereka mengais rezeki berupa ikan, terbakar hebat.
“Susah sekali kami saat itu, Bang. Mau makan saja susah. Kami tak tahu harus gimana mencari nafkah saat itu, kabut asap yang pekat membuat jarak pandang hanya 50 meter. Kita khawatir ada apa-apa,†tambah Firman. Matanya menengadah ke langit lalu menggeleng perlahan, seolah tak ingin lagi masa-masa itu menghampiri hidupnya.
Masa itu adalah masa-masa suram bagi para nelayan. Pekerjaan bukannya tak ada namun akibat karhutla diiringi kabut asap yang terus mengepung Sungai Lubuk Bungkuk membuat para nelayan tak bisa berkutik. Apalagi Firman dan para nelayan lainnya tak memiliki keahlian lain, selain hanya sebagai penangkap ikan. Masa-masa sulit itu ada menghampiri sekitar tiga tahun.
Begitu juga ketika pada saat itu kabut asap tak terlalu pekat, para nelayan pun tak berani juga untuk mencari ikan di sungai Lubuk Bungkuk. Pasalnya pada masa-masa karhutla itu, puluhan tentara dari pusat yang diturunkan ke Riau guna membantu pemadaman karhutla, sebagian besar para tentara itu bermarkas di lokasi mereka mencari ikan.
“Jadi meski kabut asap tidak tebal, kami juga nggak berani mencari ikan, Bang. Kami takut dengan tentara yang kebetulan bermarkas di daerah sini untuk membantu memadamkan api. Akhirnya, kami cuma diam saja di rumah,†kata Firman polos.
Karena itu, kini Firman dan para nelayan lainnya sangat bersyukur PT SLS mau menjadikan mereka sebagai Kelompok Binaan perusahaan dengan sebutan Nelayan Peduli Lingkungan (NPL). Kata Firman, proses mereka menjadi NPL di bawah binaan PT SLS tergolong tak rumit. Firman percaya, niat baik pasti akan menemukan jalannya.
“Semua pemikiran berpijak dari kebakaran hutan yang meluluhlantakkan sungai yang menjadi tempat kami mencari nafkah. Kami sadar, lingkungan sungai ini harus dijaga sehingga habitat yang ada di dalamnya, yang selama ini telah menjadi tumpuan kami mencari nafkah, tak terganggu ekosistemnya. Karena otomatis, ketika terjadi kebakaran, ikan-ikan pun tak muncul karena lingkungannya rusak. Artinya, kami harus menjaga lingkungan sungai ini dari kebakaran bahkan kalau bisa mencegahnya jangan sampai terulang lagi,†beber Firman, menceritakan proses terbentuknya kelompok NPL. (*)