BERTUAHPOS.COM — Bagi setengah orang tua mungkin jengkel ketika anaknya suka komik, padahal itu adalah sebuah nilai kreativitas bagi anak.
Karena habis waktu untuk melahap berjilid–jilid Komik atau manga dalam bahasa Jepang dan menhwa dalam bahasa Korea ini.
Namun, bagaimana dengan produk komik sains Why yang diproduksi Jepang? Atau komik ibadah produksi Penerbit Mizan Bandung? Bagaimana pula dengan karya musik digital?
DR Musnar Indra Daulay pakar Ilmu Pendidikan dari Universitas Pahlawan Kampar berpendapat, memang masih banyak orang yang ‘mengagungkan’ produk animasi hasil digital.
“Padahal, tidak ada lukisan atau komik paling berharga di dunia selain goresan tangan,” ungkapnya.
Bahkan, Eropa dan Amerika sebagai pencetus digital, telah beralih pada teknik goresan tangan dalam memproduksi sebuah komik.
Hal itu bukan tanpa alasan. Komik dengan goresan tangan memiliki nilai kreativitas tinggi.
“Kreativitas itu muncul tanpa rekayasa, pure. Kalau rekayasa, tidak akan abadi. Contoh lagu yang tenar dalam waktu singkat, Para Penonton pernah booming, sekarang siapa yang menyanyikannya.”
Coba dibandingkan dengan lagu klasik, meski sudah ribuan kali diaransemen, tetap masih melekat pada diri penggemarnya.
Daulay yang meraih doktor dari UNP Padang ini, menekankan pemerintah merancang kurikulum pendidikan di Indonesia kreatif.
“Pertama kreativitas guru dalam memaknai bahan ajar. nilai Kreativitas siswa pun meningkat. Jangan tanya lagi pada siswa what, tapi kata kunci kreativitas siswa why. Bukan siapa tapi kenapa dan mengapa itu bisa terjadi.”
“Jangan tanya lagi siapa Presiden RI pertama, tapi siapa Soekarno? Sehingga memunculkan kreativitas, dengan mengetahui siapa Soekarno, dan akan memunculkan siswa berbuat seperti tokoh Soekarno. Apakah ada orang instan? Kan kita tidak butuh pemimpin, yang butuh proses menjadi pemimpinnya itu. Itu yang dikejar,” urainya.***