BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Penggiat lingkungan mencatat dalam catatan akhir tahun 2016, rupanya konflik belum memiliki ruang jeda untuk tidak muncul di tengah-tengah masyarakat. Angka konflik meningkat dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2016, Scale Up mencatat sedikitnya terjadi 73 konflik terjadi di Provinsi Riau pada sektor Kehutanan, perkebunan dan tapal batas dengan luas 166.927,85 hektar.
Direktur Eksekutif Scale Up Riau, Herry Octavian mencatat konflik SDA dalam penutup tahun 2016 perlu diberi cetak merah dari deretan data konflik sebelumnya. Ada peningkatan konflik yang signifikan 28% dari tahun 2015. Jika dirunut pada data konflik empat tahun ke belakang, jumlah konflik tahun ini menjadi tertinggi.
“Tumpang tindih lahan, penyerobotan lahan, atau secara regulatif adanya perbedaan alas hukum yang kemudian saling klaim atas keabsahan kepemilikan lahan, merupakan penyebab terjadinya konflik,” kata Herry
Dia menambahkan, satu pihak mengeluarkan berbagai argumentasi untuk mengklaim lahan. Sedangkan pihak lain dianggap tidak memiliki cukup argumentasi untuk menyatakan suatu klaim. Hal serupa sering ditemukan dalam Iahan peladangan masyarakat, kebun dan tanah ulayat yang secara tiba-tiba masuk dalam kawasan konsesi kehutanan ataupun perkebunan.
Konflik antara masyarakat dengan perusahaan masih menjadi aktor utama dalam terjadinya konflik. Sedikitnya ada 43 konflik dengan aktor yang berhadapan langsung antara masyarakat dengan perusahaan. Komitmen atas penghormatan hak masyarakat dan penyelesaian konflik yang lahir dari ‘rahim’ swasta, hanyalah sekedar hiasan, dashboard website saja. Tidak ada progres akan komitmen perusahaan untuk menyelesaikan berbagai konflik. Justru angka konflik meningkat dengan signifikan.
” Lahan gambut yang dulu dianggap sebagai lahan marjinal, kini menjadi sebuah sasaran ekspansi perusahaan skala besar, baik di sektor kehutanan maupun perkebunan. Gambut seolah menjadi arena kontestasi dengan motif ekonomi di tengah ketersediaan lahan mineral yang kian sempit dan terbatas,” tambahnya.
Pengkonversian lahan gambut menjalar terhadap akibat-akibat lain, salah satunya kebakaran yang menjadikan gambut kian kritis. Kebakaran besar pada tahun tiga tahun sebelumnya melahirkan akan Sebuah respon penjagaan gambut dengan menuangkan dalam bentuk kebijakan larangan membakar lahan untuk kepentingan apapun dan oleh siapapun.
Ada dua hal besar yang kini menguasai dan memiliki otoritas terhadap gambut. Pertama, lahan gambut ‘dikuasai’ oleh perusahaan skala besar dengan mengantongi izin konsesi. Kedua, lahan gambut tidak cukup sekedar dijaga, namun juga diawasi oleh aparat keamanan yang siap.
Menciduk orang yang berani membakar lahan. Lalu dimanakah dan bagaimana posisi masyarakat yang hidup di wilayah gambut dengan posisi terkurung oleh konsesi dan aktivitas berladang yang dijegal oleh kebijakan larangan membuka?
Berdasarkan gumbaran situasi konflik di atas. Scale Up sebagai lembaga yang fokus Dada isu penyelesaian konflik sumber daya alam, menyimpulkan bahwa, memastikan ruang akses kelola sumber daya alam bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal, mengefektifkan kembali nilai kearifan lokal atau adat dalam proses penyelesaian konflik, mempercepat pengesahan RTRW sebagai kejelasan pengelolaan tata ruang dan akses kelola masyarakat. Serta mendorong dan mengefektilkan fungsi serta peran pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik dan membentuk lembaga penyelesaian konflik di tingkat daerah.
Penulis: Melba Ferry Fadly