BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Pemprov Riau ingin Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perkelapasawitan harus menyentuh hak-hak regional dalam pelaksanaannya.
RUU Perkelapasawit menjadi RUU prioritas bagi DPRD RI untuk tahun 2017 ini. Saat ini RUU itu sedang tahap harmonisasi. Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Ahmad Hijazi mengatakan, sudah saatnya pemerintah pusat mengambil kebijakan yang mendukung terhadap pergerakan perekonomian daerah.
“Kami akan lihat dulu substansi dari RUU ke arah mana dulu, terutama untuk hak-hak lokal atau regional terhadap itu. Kami sadar akan berdampak terhadap Riau mengingat Provinsi ini menjadi provinsi penyumbang hasil kelapa sawit terbesar,” katanya kepada bertuahpos.com, Senin (06/02/2017).
Dia menambahkan, jika perlu ada pasal yang mengharuskan daerah penghasil sawit ada hilirisasi. Hal ini akan sangat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian Riau.
Salah satu poin penting terhadap hadirnya RUU perkelapasawitan ini yakni untuk meningkatkan profesionalitas seluruh sektor di kelapa sawit, dari hulu hingga hilir.
Perkebunan kelapa sawit, di satu sisi memiliki manfaat secara nasional, misalnya sebagai komoditas paling produktif diantara komoditas lain, menyerap banyak tenaga kerja, serta menjadi komoditas andalan nasional.
Namun, di lain hal, perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial atau lingkungan. Dari luas areal perkebunan kelapa sawit 11,4 juta hektar persegi (BPS, 2015), Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha dan konflik perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25%), sengketa non lahan sebanyak 185 kasus (25,05%), dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2%).
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan dukungannya terkait rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan menjadi Undang-undang (UU) pada tahun 2017 mendatang.
Direktur Eksekutif Gapki M Fadhil Hasan mengatakan, pengesahan RUU Perkelapasawitan akan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan dari industri kelapa sawit nasional.
Fadhil menegaskan, saat ini industri kelapa sawit nasional memiliki banyak persoalan karena belum memiliki payung hukum yang kuat.
“Ada urgensi bagi kita untuk memiliki UU Perkelapasawitan karena kita dihadapkan banyak persoalan yang tidak dapat diatasi kalau kita tidak memiliki payung hukum yang kuat,” ujarnya.
Fadhil menuturkan, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah penurunan harga kelapa sawit yang membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang bergantung pada industri sawit seperti di Sumatera dan Kalimantan.
” Malaysia sudah mengatur industri perkelapasawitan secara khusus karena mereka menganggap industri sawit penting,” ungkapnya.
Gapki juga mendukung rencana pembentukan lembaga atau badan yang khusus mengatur industri kelapa sawit, karena pada saat ini badan yang mengatur industri perkelapasawitan tidak terpusat dan terpencar dimana-mana sehingga tidak efektif.
“Ini seperti Malaysia yang punya Malaysia Palm Oil Board (MPOB). Badan tersebut ada beberapa fungsi seperti melakukan pembinaan, penciptaan proses investasi yang kondusif, memperbaiki tata kelola dari hulu ke hilir, mendukung proses sertifikasi, melakukan promosi dan diplomasi, menghimpun dan mengelola keuangan sawit,” tuturnya.
Penulis: Melba Ferry Fadly