BERTUAHPOS.COM — Sebentar lagi si kulit bundar “Brazuca” akan ditendang di Arena de Sao Paolo untuk mengawali perhelatan akbar Piala Dunia 2014. Jutaan pasang mata akan terarah ke sana, bersama banyak harapan dari segala penjuru bumi.
Bagi masyarakat Brasil sendiri, Brazuca, tentunya adalah berkah yang diharapkan dapat mengembalikan jati diri negara mereka di pentas sepak bola dunia. Brazuca berarti “gaya hidup orang Brasil” atau semangat dan kebanggaan bermain bola bagi mereka.
Dalam sejarah, pemain-pemain Brasil pernah dijuluki maestro sepak bola. Lihat saja pemain Brasil pada era 1950 hingga 1970-an tidak pernah bermain dengan tata tertib dan aturan bola yang kaku. Mereka bermain dengan cinta yang berasal dari hatinya dan membelai bola dengan lembut yang mengalir dari kaki, dada, hingga ke kepala.
Sebut saja, Pele, Garrincha, Roberto Rivelin, Tostao, hingga Jairzinho yang sangat piawai memainkan bola lalu mengalirkan si kulit bundar itu di atas lapangan. Mereka bermain bola bukan untuk meraih kemenangan saja, melainkan juga kegembiraan, dan dengan hati. Bahkan, bisa dibilang, cinta dan kegembiraan itulah yang akhirnya membuat Brasil menjadi kampiun Piala Dunia 1958 Swedia.
“Kesebelasan Brasil dalam Piala Dunia 1958 rasanya bisa menjadi juara dunia dengan menggunakan sistem dan cara apa pun.” Begitu diungkapkan mantan pelatih Jerman, Erich Rutemoeller.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Brasil seakan menghilangkan ciri khasnya itu. Mereka tidak bermain lagi dengan hati dan cinta. Mereka terkesan hanya mengejar target kemenangan semata. Salah satu contoh teranyar, bisa dilihat dalam permainan Brasil pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.
Kala itu di bawah pelatih Carlos Dunga, Brasil dinilai tidak lagi bermain dengan etos permainan indah. Brasil lebih banyak bermain bertahan dan serangan balik. Hasilnya, ketika mereka meraih kegagalan di turnamen itu, publik sepak bola Brasil pun kecewa. Brasil, kata mereka, telah kehilangan roh Samba.
“Mereka tidak lagi bermain dengan cantik, mereka bermain efisien untuk meraih kemenangan,” kata Zico.
“Brasil yang dulu dipuja karena mampu melakukan umpan-umpan mengalir dan indah, saat ini sudah tidak ada lagi,” ujar Tostao.
Belakangan, Pele pun heran. Menurut dia, masalah yang lumrah bagi Brasil adalah lini belakang, tetapi saat ini masalah Brasil adalah lini tengah dan depan, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sepak bola
Mengacu komentar para legenda Samba, sepak bola bukan hanya soal menang kalah bagi publik Brasil, melainkan kebanggaan dan keyakinan bahwa gaya orisinal mereka adalah yang terbaik di dunia; bahwa kemenangan hanya membanggakan jika diraih tanpa menanggalkan jati diri.
Franklin Foer, dalam karyanya How Soccer Explain the World, mengatakan bahwa bagi masyarakat Brasil, pesta sepak bola juga adalah upaya untuk menyatukan semua orang. Pendukung sepak bola di sana pun dikategorikan suporter karnaval yang identik dengan kemeriahan, warna-warni, dan pesta.
“Negara ini cinta terhadap sepak bola. Ini adalah kesempatan berpesta untuk mengembalikkan jati diri kami dan meraih kemenangan di Piala Dunia di hadapan jutaan pasang mata masyarakat Brasil,” kata Tostao.
Dalam arti lebih luas, sepak bola juga merupakan sarana untuk mengidentifikasi krisis identitas. Inggris, misalnya. Industri membuat Inggris tak pernah mengalami krisis pemain top. Namun, melimpahnya bintang tak membuat Inggris bergigi di ajang internasional.
Suporter mereka hingga saat ini masih bingung mengapa negaranya belum juga berhasil meraih gelar kedua sejak 1966. Padahal, bicara soliditas, Inggris seharusnya tak punya masalah karena pemain-pemain top mereka bermain di liga domestik.
Beruntunglah Brasil, karena mereka memiliki Neymar. Pemain milik Barcelona ini dipuji-puji sejumlah legenda Samba sebagai roh “jogobonito”.”Pemain yang mempunyai keindahan sepak bola Brasil sekarang cuma Neymar,” ujar Zico.
Dengan begitu, meski permainan Seleccao belum meyakinkan, publik Brasil tetap memiliki harapan Neymar akan membuat perbedaan dan memengaruhi rekan-rekannya untuk bermain dengan gembira dan penuh cinta.
Indonesia
Seperti sepak bola Brasil, Indonesia juga tengah mengalami krisis identitas. Negara agraris tetapi tak mampu menggantungkan kebutuhan logistik dari petani lokal. Negara maritim tetapi sering dimasuki pukat harimau negeri tetangga. Zamrud Khatulistiwa yang memakmurkan bangsa asing, tetapi menjadikan perempuan-perempuannya buruh di negeri orang.
Brasil sudah memiliki Neymar yang diharapkan oleh publik Brasil mengatasi krisis identitas sepak bola mereka. Bagaimana dengan Indonesia?
Saat ini, dalam kampanye pemilihan presiden, ada dua putra bangsa yang berjuang meyakinkan masyarakat Indonesia untuk memberikan mandat memimpin negeri yang dulu diperhitungkan John F Kennedy dan disegani diktator Nikita Kruschev.
Dua-duanya punya visi mengembalikan identitas Indonesia sebagai bangsa besar yang berdiri di kaki sendiri, tidak seperti selama ini. Harapan rakyat dipermainkan untuk menjaring suara dan dukungan, tetapi bukan untuk kepentingan rakyat seluas-luasnya. Ketika mandat diberikan, pemegang mandat tidak bermain sesuai harapan. Mereka memainkan bola dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan pribadi dan kelompok sendiri.
Lihat saja, korupsi sudah menjadi barang biasa di negeri ini. Korupsi menjadi jalan pintas yang mengabaikan Vox Dei dan menjalar ke mana-mana. Bahkan, yang terjerat sudah tidak hanya para politisi atau hakim konstitusi, orang nomor satu di Departemen Agama pun sudah terjangkiti.
Dalam berkampanye, para calon presiden mengumbar janji, janji yang dinyatakan dan diingkari pendahulu mereka. Etika dan tata krama sudah lama hilang dari panggung politik karena para calon hanya mengejar kemenangan.
Akhirnya, kehidupan rakyatlah yang semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan Indonesia. Rakyat kian jauh dari kata sejahtera, adil, dan makmur yang puluhan tahun lalu diperjuangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ketika mengembangkan pemikiran sistem ekonomi yang berasaskan Pancasila.
Brasil sudah memiliki Neymar, yang kemampuannya diakui para pendahulunya. Sejauh ini, Neymar menjaga ekspektasi dan kepercayaan Ronaldo, Pele, dan lainnya. Ia meninggalkan Brasil dan pindah ke Eropa, demi menimba pengalaman, tetapi tak kehilangan tujuan membawa Brasil menjuarai Piala Dunia.
Dalam usia muda, Neymar akan memasuki lapangan Sao Paolo dengan memikul harapan publik Brasil, yang belum bersepakat soal faedah penyelenggaraan Piala Dunia. Harapan itu mungkin terlalu berat untuk ditanggung Neymar, tetapi sulit dibayangkan pemuda berusia 22 tahun itu abai akan harapan itu.
Seperti Neymar, presiden Indonesia berikutnya belum tentu bisa membawa Indonesia mencapai cita-cita Proklamasi bahkan dalam dua periode pemerintahan. Namun, seperti sepak bola, hasil bukan segalanya, melainkan bagaimana mereka melaksanakan mandat rakyat tanpa berkhianat.(Kompas)