BERTUAHPOS.COM, PAYAKUMBUH – Rasa iba akan muncul di hati kita saat melihat kondisi Monsatriadi (34), warga RT 01 RW 02 Kelurahan Sicincin, Kecamatan Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat ini. Selama 15 tahun, ia harus dipasung oleh ibundanya di dekat kandang kuda.
Â
Setiap hari, Mon tinggal di ruangan bekas dapur rumahnya, di dekat kandang kuda. Walau tidak jauh dari keramaian, tetapi di ruangan berukuran 3×3 meter berlantaikan tanah dengan pintu jeruji besi, ia layaknya dipenjara. Ditambah dinding terbuka, akan membuat kondisi kesehatannya semakin memburuk.
Â
“Harapan saya bagaimana anak saya bisa sehat kembali. Kini kesehatannya semakin buruk. Karena dulu anak saya bisa berjalan normal dan juga berbicara normal. Tapi sejak berada di dalam ruangan ini, dua kakinya kaku dan tidak bisa di luruskan lagi. Untuk berjalan, ia hanya menggunakan dua lututnya. Begitu juga dengan suaranya, juga sudah hilang,” jelas ibunya, Roslaidi (57) kepada Ketua YJKB Kota Payakumbuh, Rasyidah Suwandel Muchtar, Selasa (27/01/2015),
Â
Dikisahkannya, sulung tiga bersaudara ini pernah mengenyam pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) itu. Ia tampak hanya pasrah bila sewaktu-waktu harus di bawah untuk berobat. Sebab, Mon memang tidak mau tau tinggal dimana, dengan siapa dan ruangan bentuk apa saja.Â
Â
Karena dimana pun ia berada, bisa saja tiba-tiba mengamuk, marah dan memberontak serta merusak benda yang ada di sekitarnya. Bahkan ia telah merusak lantai bekas dapur tempat dirinya diasingkan, hingga hancur dan kini tinggal tanah.
Â
“Kalau mendengar orang memukul kayu atau tukang rumah bekerja, dia sering marah dan berontak. Penyakitnya kambuh tiba-tiba, tetap marah, merusak bahkan meninju dinding dapur itu sampai tangannya bengkak-bengkak. Dulu dinding dapur itu terbuat dari kayu, tetapi karena dirusak, ditinju dan dipukulinya maka hancur, dan kemudian baru dibangun dengan tembok, tetapi tetap dirusaknya,” sebut Roslaidi.
Â
Tapi masih ada satu harapan tersisa di hati Roslaidi tidak cemas, ia masih bisa melihat senyum anak yang dibesarkannya dengan peluh, dari hasil bekerja di sawah orang lain sebagai buruh lepas dengan penghasilan pas-pasan.Â
Â
Bahkan sejak beberapa tahun silam, ibu tiga anak itu hanya menghidupi Mon dan dua adiknya seorang diri sejak ditinggal mati Suami tercintanya Anis (Almarhum). Sisilain juga membuat tabah dirinya menghadapi semua cobaan dan ujian dari Allah, karena melihat Mon tidak sakit (demam), ketika dirinya memberikan makanan dan minuman kepadanya pagi, siang dan sore hari.
Â
“Alhamdulillah, makan dia mau. Kemudian memang kebiasaanya merokok memang sampai kini sulit baginya untuk melupakan. Sehingga bila melihat ada orang lewat di jalan, Mon dengan tangannya memanggil untuk minta rokok. Bagi orang-orang kampung yang sudah dikenalnya, dan sudah biasa bergaul dengan Mon sejak kecil hingga usianya 25 tahun, akan memberi satu batang,” sebut ibu berkulit putih itu usai bekerja memarut ubi upahan orang.
Â
Memang penyakit gangguan kejiwaan yang diderita Mon, bukanlah penyakit bawaan sejak lahir atau semasa kecil. Tetapi gejala penyakit kejiwaan itu baru dirasakan Mon, sejak ia usia muda 25 tahun. Ketika itu, Mon bekerja sebagai penggali Pipa di satu wilayah di Kota Payakumbuh.
Â
Tiba-tiba saja dirinya mengalami sakit kepala, saking sakitnya dirinya membentur-benturkan kepalanya ke dinding rumahnya. Sejak saat itulah, ia mulai terlihat aneh dan sering pendiam, mengurung diri di rumah serta sering marah dan acap kali menghancurkan barang-barang di rumah. Seiring datangnya penyakit Mon, Roslaidi, sebenarnya tidak tinggal diam, dia terus berupaya mengobati penyakit Mon, dengan mendatangi paranormal. Bahkan berkali-kali Mon, diajak ke Puskesmas, dan sampai ke RS Adnan WD Payakumbuh.
Â
“Baru-baru sakit itu saya obati, ke dukun (paranormal). Tetapi  sudah banyak saya datangi para normal tetapi penyakit Mon malah semakin parah. Kemudian saya bawa berobat ke puskesmas, tidak juga membaik. Lalu saya bawa ke RS Adnan WD berobat jalan, tetap tidak sembuh, tapi semakin menjadi-jadi. Karena tingkah lakunya sudah membahayakan keluarga dan orang lain, maka dengan rasa sedih ia harus diasingkan dalam satu ruangan, ya ditempat sekarang ini,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca akibat rasa sedih menuturkan cerita tentang nasib anaknya.
Â
Setelah berbagai upaya itu dilakukan, namun Mon tidak kunjung sembuh, sehingga uang biaya berobat untuk kesembuhan Mon juga menipis. Hingga diputuskan sejak 11 tahun silam Mon tidak lagi berobat. “Sejak dia dimasukkan dalam ruangan dapur itu, tidak lagi pernah di bawah berobat. Memang ada pihak Puskesmas, dari Dinas Kesehatan melihat kesini, hanya sampai disitu saja,” akunya jujur.
Â
Ketua Rt 01 RW 02 Kelurahan Sicincin, HB.Dt. Magkuto, menyebut Mon sejak kecil hingga remaja berusia 25 tahun hidup normal layaknya pemuda lainnya. “Dia sering duduk diwarung ngopi, bergurai bersama dengan sesamanya. Tapi memang sejak dia pulang dari kerja menggali Pipa itulah sikap, tingkah dan prilakunya aneh dan hingga seperti ini. Dari informasi saya dengar saat bekerja itu dia termakan “Udu” (semacam larangan yang ber aura sakti, dan berakibat fatal bagi yang memakannya),” sebut HB.Dt. Mangkuto, yakin akan ada harapan baru bagi Mon dengan kedatangan ibu Rasyidah Suwandel Muchtar itu.
Â
Sementara itu, Ketua Yayasan Jalinan Kasih Bunda Kota Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat, Hj Rasyidah  Suwandel Muchtar menjanjikan perawatan lebih layak kepada Monsatriadi (34) di RS Jiwa Padang.Â
Â
Tentunya setelah melakukan koordinasi dengan keluarga, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Payakumbuh, termasuk RS Jiwa Padang. Bila diperoleh kesepakatan, Monsatriadi bakal segera dibawa untuk di rawat di RS Jiwa Padang.
Â
“Kita berniat akan membawanya untuk dirawat di RS Jiwa Padang. Tentu dalam waktu tiga hari ini bila kita mendapatkan persetujuan dari keluarga, kemudian kita berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan tentu pihak RS Jiwa. Ya, tiga hari ini isnyaAllah kita bawa berobat,” sebutnya. (khatik)
Â
Â