BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang diberi gelar Marhum Bukit adalah pendiri Kota Pekanbaru pada tahun 1766-1782. Namanya kini disematkan sebagai identitas resmi pada Jembatan Siak IV yang diresmikan oleh Pemprov Riau pada hari ini, Kamis, 14 Februari 2019 di Pekanbaru.
Menurut cerita sejarahwan dari Riau, O.K. Nizami Jamil, Marhum Bukit adalah putra sulung dari Sultan Jalil Rachmad Syah (Raja Kecik) pendiri Kerajaan Siak pertama pada tahun 1723 di Kota Buantan. Kota ini persis berada di pinggiran Sungai Jantan (sekarang Sungai Siak).
“Ibunya adalah Putri Dipati Batu Kucing Musi Rawas Palembang. Sedangkan istri Marhum Bukit bernama Daeng Khalijah, puteri Daeng Perani” ujar O.K. Nizami Jamil, Kamis, 14 Februari 2019.
Memang ketika itu raja memberikan penobatan kepada putra-putranya. Sedangkan dirinya dinobatkan sebagai Raja Muda. Penobatan ini kemudian tidak dapat dipahami oleh Marhum Bukit, sehingga dia memilih pergi dari Negeri Siak, melanglang buana ke Selat Malaka hingga Laut Cina Selatan.
Dia kemudian menjadi penguasa laut. Kerjanya merampas kapal lanun (perampok-bajak laut). Bahkan kapal-kapal Belanda dan Inggris tidak luput dari sasarannya. Bahkan pedagang-pedagang di perairan Selat Malaka dan Luat Cina Selatan juga tidak luput dari sasarannya.
Marhum Bukit atau Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, meneruskan perjalanannya ke Siantan dengan membawa pengikut dengan jumlah sekitar 500 orang. Pengikut-pengikutnya ini terdiri dari berbagai suku bangsa. Dalam catatan Netseher, kelompok ini adalah pengembara dengan kapal-kapal hasil rampokan yang dibawa berlayar ke Borneo (peraitan Kalimantan Barat).
Bersama dengan pengikutnya ini, Marhum Bukit menetap di Pulau Siantan dengan bantuan Daeng Kamboja, karena dia adalah menantu Daeng Perani. Marhum Bukit punya kapal perang dengan kapasitas besar dan kecil dari hasil rampasan, sehingga, membuat para koloni Belanda ciut. Apalagi setelah dia dan pengikutnya dapat menghadang perdagangan di lalu lintas Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
“Lalu ketika itu Belanda mebuat politik pecah belah dengan menghasut Marhum Bukit agar kembali ke Siak untuk mengambil tahta kerajaan, yang ketika itu dikuasai oleh Tengku Buwang Asmara (adik Marhum Bukit) yang bikin malu Gubenur Belanda di Malaka karena menghancurkan Loji Belanda dan membunuh pimpinan serta semua serdadu di Pulau Guntung, Kuala (muara) Siak ” ujar O.K
Marhum Bukit kemudian tertarik dengan tawaran Belanda dengan syarat Belanda tak boleh ikut campur masalah keluarga Kerajaan Siak. Sehingga terjadilan perang saudara antara adik beradik, karena Marhum Bukit sudah dihasut oleh Belanda, Tujuannya tidak lain agar Belanda bisa menyetir Marhum Bukit untuk tujuan menguasai alam Siak
Di tengah peperangan itu, sang Adik kemudian menyampaikan wasiat sang Ayah kepada kakaknya. Bahwa jika suatu hari Sang Kakak (Marhum Bukit) kembali untuk mengambil tampuk kekuasaan, maka serahkanlah, sebab dia adalah saudara sulung yang juga berhak menjadi raja.
“Perang saudara usai. Setelah Marhum Bukit bertahta sebagai Raja di Kerajaan Siak di Koto Menpura tahun 1766, pusat kerajaan dipindahkan ke hulu Sungai Jantan, di negeri Batin Senapelan melalui persetujuan sidang Dewan Kerajaan Siak (Datuk Empat Suku),” O.K berkisah.
Pindahnya pusat kerajaan karena Marhum Bukit sangat membenci Belanda yang ingin merampas Negeri Kerajaan Melayu di Pesisir Selat Malaka dengan politik pecah belah itu. Dia juga enggan membayar hutang perang kepada Belanda.
Senapelan perlahan mulai dibangun karena ini merupakan pusat kerajaan baru, Marhum Bukit memindahkan pelabuhan dagang di Tapung Kiri dan Tapung Kanan ke Negeri Senapelan untuk lancarnya arus perdagangan yang membawa hasil bumi, seperti lada, emas, gambir, hasil hutan dan hewan buruan untuk dijual ke Malaka dan Singapura.
Selanjutnya untuk menghubungkan jalur perdagangan hingga ke negeri Minang Kabau dan Kuantan, maka dibuatlah jalur darat melalui Teratak Buluh. Hasil bumi diangkut dengan pedati (kereta) yang ditarik dengan kerbau dan kuda.
Dia juga membuat jalan di Negeri Senapelan yang dikenal sebagai Pedang Terubuk, Pedang Buatan, Kampung Dalam, Pintu Angin, Kampung Sukma Hilang dan lain-lain. Serta membangun perladangan rakyat yang disebut dengan Kampung Payung Sekaki di Pantai Cermin
Pada tahun 1780, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah diberi gelar Marhum Bukit. Tahtanya kemudian diteruskan oleh putranya bernama Tengku Muhammad Ali yang diberi gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil sebagai Sultan Siak V di tahun 1780-1782. Dia tidak lama bertahta karena sudah tua. Apalagi di masa mudanya dia adalah seorang panglima perang yang terus melawan Belanada, Inggris dan para bajak laut di Selat Malaka.
Dia juga melanjutkan rencana ayahnya untuk membenahi jalan raya di Senapelan ke arah Kampar, Pangkalan Koto Baru, Payakumbuh. Maka jalan bersimpang tiga ini diberi nama Kampung Simpang Tiga (sekarang Simpang Tiga Marpoyan, dekat Bandara). Di masa Tengku Muhmmad Ali bertahta, Senapelan diberi nama Pekan Baharu. (sekarang Pekanbaru).Â
Kota ini kemudian dijadikan pusat perdagangan untuk ekpsor barang dagangan dari Pulau Sumatera ke luar negeri. Saat ini Pemprov Riau menyematkan nama Marhum Bukit, atau Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah pada Jembatan Siak IV yang diresmikan hari ini. (bpc3)