BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Mencermati pemberitaan terkait anak di Tanah Air seringkali anak yang justru menjadi korban objek eksploitasi dan diungkapkan identitasnya. Seperti wajah, inisial, nama, alamat lengkap dan sekolah, baik dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Selain itu bahasa yang dipakai dalam pemberitaan cenderung vulgar. Bahkan media penyiaran juga kerap menampilkan sosok anak yang disamarkan topeng atau blur wajah, namun masih dikenali ciri-cirinya.
Dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, telah diratifikasi konvensi hak anak dan membuat Undang-Undang yang melindungi hak anak sebagaimana tertuang dalam UU Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor: 23 Tahun 2002.
Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia terkait perlindungan anak. Antara lain dalam KUHP batasan anak di bawah umur 16 tahun. Dalam Kode Etik Jurnalistik menyatakan batasan anak di bawah umur juga sama. Sementara dalam UU Perlindungan Anak batasan usianya 18 tahun. Sedangka dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang usia 21 tahun dan UU Administrasi Kependudukan batasan usianya 17 tahun.
Dalam peraturan Dewan Pers ini, pedoman pemberitaan ramah anak yang disepakati menggunakan menggunakan batasan bahwa seseorang yang belum berusia 18 tahun, baik masih hidup atau sudah meninggal, menikah atau belum menikah. Berikut ini rinciannya:
Pertama, wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.Â
Kedua, wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/tidak membuat duskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
Ketiga, wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
Keempat, wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
Kelima, wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
Keenam, wartawan tidak menggali informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Ketujuh, wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
Kedelapan, wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, di edit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkap.
Kesembilan, dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.
Sepuluh, wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait politik dan yang mengandung SARA.
Sebelas, wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata hanya dari media sosial.
Duabelas, dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
(bpc3)Â