BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Penanganan kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau seharusnya lebih masif dengan mengecek dokumen publik perusahaan. Kebijakan pemerintah intruksikan perusahaan pasang CCTV untuk pantau karhutla dianggap bukan langkah yang bijak. Malah dituding tidak perkutik terhadap penguasaan korporasi di Riau.
“Penanganan Pemprov Riau terhadap Karhutla di tahun 2017 ini terkesan lari dari kenyataan. Pemerintah membuat kebijakan klasik, menyatakan status siaga darurat, mewanti-wanti masyarakat jangan bakar, memberi peringatan pada perusahaan, bahkan aneh malah Pemprov minta perusahaan memasang CCTV segala untuk memantau area,” ujar Pakar Lingkungan, Dr Elviriadi, saat hubungi bertuahpos.com, Rabu (25/01/2017).
Menurut dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau ini, pokok perkara sesungguhnya adalah alih fungsi lahan, yang membuat kering sampai 77,94% lahan gambut, yang dikonversi jadi hutan produksi. Termasuk areal konsesi yang diberikan, tidak diawasi luasnya sesuai izin atau ditambah oleh perusahaan sampai dua kali lipat.
Seharusnya, kata dia, Pemprov Riau berani meminta dokumen publik seperti Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan itu. Dia menduga, sebagian besar dari Amdal perusahaan itu jelas bermasalah, karena aspek sosial Amdal, yaitu persetujuan masyarakat tempatan tidak terpenuhi.
“Malah, lahan masyarakat yang turut dilibas,” katanya. “Sudah panen dua kali di Semenanjung Kampar dan panen sekali di Pulau Padang di atas tanah atau kebun masyarakat. Untuk memantau area, cukup Pemprov meminta RKL, UPL dari perusahaan tersebut,” sambungnya.
Elvi melihat, otoritas negara itulah yang ditunggu untuk atasi Karhutla ini. Karena rakyat tidak diberi wewenang undang-undang untuk meminta hal prinsip semacam itu dari perusahaan. Pemprov Riau harus lakukan cek ulang luas konsesi yang ada, tata batas ulang di tingkat tapak. Karena kawasan hidrologis gambut di Riau sudah hilang, kubah gambut, kawasan tangkapan air, kawasan lindung gambut, juga sudah raib.
“Ini yang harus dibuat lagi, melalui penataan ruang yang diambil alih perusahaan,” tuturnya. Dia berpendapat, selama kawasan-kawasan strategis itu tidak dibuat, diciptakan, dialokasikan, maka potensi kebakaran tetap tinggi.
Penulis: Melba Ferry Fadly