Oleh: H Sofyan Siroj Abdul Wahab
Aggota Komisi III DPRD Riau
—
PENGORBANAN besar dalam sejarah manusia hanya dilakukan oleh manusia pilihan. Dalam konteks Idul Adha yang detik ini diperingati kaum muslim seluruh dunia, tersebutlah kisah nabi Ibrahim As dan anaknya Ismail As.
Pengorbanan yang mereka contohkan bak pondasi yang mengokohkan bangunan peradaban. Implikasi dari komitmen ketakwaan tersebut, dengan seizin Allah SWT, di atas tanah yang semula gersang menjadi kota makmur dan penuh keberkahan.
Pemaknaan Idul Adha lebih dari sekedar menyembelih hewan kurban. Ada motivasi moral yang luar biasa mendorong manusia ke tingkat mulia. Mengorbankan apa yang dimiliki dan paling dicintainya: berupa harta, benda, jabatan dan segalanya; mematahkan sifat egois dan serakah di dalam diri.
Semua demi penghormatan untuk kepentingan lebih besar yakni tatanan sosial dan peradaban. Korelasinya dengan konteks kekinian adalah, esensi Idul Adha hanya bisa diraih oleh insan muslim jika terbentuk konektivitas antara kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial. Karena esensi ibadah adanya implikasi sosial.
Mumpung berada di hari Tasyrik yang istimewa, selain menggelar penyembelihan, umat Islam juga dituntut dapat menggali sedalam mungkin hikmah dibalik peristiwa kurban. Agar kurban yang kita lakukan didorong atas ketakwaan dan keyakinan.
Karena dua unsur inilah yang memantapkan hati Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Meski berat, di hati mereka telah tertancap satu hal: bahwa yang diperintahkan Allah SWT pastilah akan mendatangkan kebaikan. Selain sebagai indikator ketakwaan, terbukti kemudian apa yang dilakukan Nabi Ibrahim as dan Ismail as menginisiasi spirit baru bagi peradaban manusia.
Nabi Ibrahim as dan Ismail as telah meletakkan prinsip mendasar dalam tatanan sosial. Dalam konteks lebih lanjut, Islam telah menyediakan banyak perangkat yang dapat dipakai untuk mengimplementasikan prinsip tersebut dalam kehidupan nyata. Selain berupa hewan kurban, pada kesempatan kali ini menarik untuk dibahas adalah potensi wakaf.
Wakaf Spirit Berkorban
Kita patut bersyukur bahwa bangsa Indonesia punya hasrat dan keinginan kuat menerapkan sifat berkorban. Setidaknya itu tergambar dari survei lembaga amal Inggris Charities Aid Foundation (CAF) merilis laporan World Giving Index, yang menempatkan Indonesia di peringkat teratas. disamping antusiasme berderma, Indonesia juga di peringkat teratas negara paling religius.
Menurut Pew Research Center dalam surveinya The Globall God Divide (2020), dari 96% responden Indonesia mengganggap iman kepada Tuhan kunci bagi seseorang untuk bermoral dan 98% menganggap penting agama dalam kehidupan.
Kekuatan ini jelas modal sosial paling berharga bagi bangsa. Yang mampu memulihkan bangsa tak peduli musibah sebesar apapun yang mendera. Terbukti selama pandemi, semangat kemanusiaan muncul di setiap pelosok dari setiap individu. Tanpa kenal strata ekonomi dan tanpa kendali dan bahkan tanpa support pemerintah. Inisiatif kebaikan ini tentu patut dijaga oleh negara dengan penguatan melalui kebijakan.
Secara regulasi UU nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah membuat arahan pemberdayaan wakaf sebagai salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi. Kehadiran UU wakaf adalah momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, yang menggariskan perlunya pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.
Potensi Luar Biasa
Karena melihat potensinya yang luar biasa dan selama ini cenderung tidak terkelola dengan baik. Untuk Riau saja misalnya. Usia produktif penduduk Riau ditaksir sebesar 4,5 juta jiwa. Jika 87% usia produktif tersebut adalah muslim lalu mereka berwakaf uang Rp2 juta per tahun, maka akan terhimpun komitmen dana wakaf uang sebesar Rp7,8 triliun per tahun. Itu lebih setengah dari total APBD Provinsi Riau 2020.
Selain wakaf berupa dana, potensi tanah wakaf juga tak kalah menjanjikan. Luas tanah wakaf Riau diperkirakan 2,093.71 Ha yang tersebar di 8.115 lokasi. Penggunaannya masih didominasi tempat ibadah, pendidikan dan pemakaman.
Di level pemerintahan, himbauan Gubernur Riau Syamsuar yang mengajak masyarakat untuk gemar beramal melalui wakaf tunai melalui gerakan yang dicanangkan pemerintah berupa wakaf Rp1.000 per hari patut disambut baik. Sekarang tinggal aspek menajerialnya. Karena dari wakaf setakad ini, umumnya belum mengarah kepada pengelolaan wakaf produktif yang kebermanfaatan dan keberlanjutannya lebih luas dapat dirasakan oleh penerima manfaat wakaf (mauquf alaihi).
Pengelolaan yang dimaksud tentu harus terintegrasi, terpenuhi asas kesejahteraan nazir, dan asas transformasi dan tanggungjawab. Dalam pembahasan lebih progresif, wakaf juga diarahkan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat bahkan dimanfaatkan sebagai instrument investasi. Sehingga akan berdampak lebih besar dalam sektor ekonomi umat dibanding hanya sekadar penunjang sarana dan prasarana ibadah dan kegiatan sosial yang sifatnya sektoral.
Islam Punya Perangkat Luar Biasa
Berangkat dari pemaparan di atas jelas bahwasanya selama ini Islam punya perangkat yang luar biasa. Kurban sebagai momentum spirit yang harus ada dalam pribadi seorang muslim, dan kemudian wakaf sebagai media mewujudkan ke ranah realita.
Sekarang kuncinya bagaimana potensi kebaikan tersebut dapat dikelola. Peran negara dalam hal ini pemerintah sebagai regulator kuncinya. Karena untuk memperoleh manfaat wakaf perlu strategi dan regulasi.
Dalam konteks Riau, maka perlu ke depannya perlu melihat kembali dukungan regulasi. Baik itu Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang secara serius dapat mengoptimalkan spirit pergorbanan ini.
Semoga pada momen Idul Kurban tahun ini Allah SWT menancapkan spirit pengorbanan ke dalam pribadi kita. Sehingga semangat tersebut lestari sepanjang waktu.
Melalui amalan-amalan itulah kita membuktikan diri kepada Allah SWT bahwa telah berupaya menjauhkan diri dari mengikuti hawa nafsu, sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Karena Allah SWT maha kaya dan tak butuh apapun dari kita.
Instrumen ibadah yang Allah SWT wajibkan kepada justru untuk kembaikan manusia sendiri: pribadi, komunitas, masyarakat dan peradaban.***