BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – 1941, Hamka bertemu dengan Sukarno. Pertemuannya difasilitasi oleh Haji Abdul Karim Oei, seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Dari Sukarno, Hamka banyak belajar tentang perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka. 2 tokoh ini kemudian menjadi sahabat seperjuangan.
17 Agustus 1945, Sukarno membuktikan bahwa perjuangan itu berhasil. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta, tepatnya di rumah Sukarno yang berada di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.
Sayangnya, berita tentang kemerdekaan itu terlambat diketahui oleh tokoh-tokoh di daerah, termasuk di Medan dan Padang Panjang. Hamka yang waktu itu berada di Medan kemudian berusaha mencari kepastian. Bulan September 1945, dia mendapatkan kepastian itu, bahwa Indonesia benar telah merdeka. Hamka mendapatkan salinan teks proklamasi dari Mr. Teuku Muhammad Hassan, gubernur pertama wilayah Sumatera.
Baca:Â Buya Hamka Ulama Patriotik, Bagian 1: Bujang Nakal
Namun, perjuangan mempertahankan kemerdekan masih belum selesai. Hamka keluar masuk hutan bersama masyarakat Sumatera Barat lainnya dalam menghadapi pasukan Inggris, dan kemudian menghadapi pasukan Belanda, meski harus meninggalkan isterinya di Maninjau.
Kegigihan Hamka dalam berperang melawan Belanda membuatnya diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional (BPN). Hamka sendiri sempat hampir mati ketika melakukan perjuangannya melawan tentara Belanda.
Ceritanya, waktu itu Hamka sebagai Ketua BPN harus mengunjungi beberapa desa basis perjuangan di sekitar Danau Maninjau. Bersamaa beberapa kawan, Hamka menaiki perahu untuk mencapai desa tersebut. Ditengah perjalanan, tanpa disangka muncul beberapa pesawat tempur Belanda. Pesawat tempur tersebut sempat berputar beberapa kali diatas Danau Maninjau, hingga kemudian menyangka bahwa Hamka dan kawan-kawannya hanya pencari ikan biasa.
Baca:Â Buya Hamka Ulama Patriotik (Bagian 3): Berdakwah dan Mendidik
Perjuangan Hamka bersama rakyat memang tidak sia-sia. Belanda berhasil dipaksa untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Tahun 1950, Hamka diminta ke Jakarta oleh Sukarno, bersama anak dan Isterinya. Di Jakarta, Hamka semakin dikenal sebagai ulama, sastrawan, wartawan dan juga seorang politisi dari Partai Masyumi.
Di Jakarta, Hamka tercatat sebagai Penasihat Muhammadiyah dan anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi. Tidak hanya itu, Hamka juga tercatat sebagai Pegawai Tinggi di Kementerian Agama RI hingga tahun 1960. (bpc2)