BERTUAHPOS.COM (BPC) – Kendati Rumi tidak juga berhasil menemukan Syamsuddin, tapi lama-lama jiwanya menjadi tenang juga. Ia berkata kepada dirinya sendiri. “Antara aku dan Syamsuddin sama sekali tidak ada bedanya. Jika dia matahari, aku serbuk cahayanya. Jika ia laut, aku adalah bahteranya. Serbuk cahaya bersumber pada matahari, dan kehidupan perahu (bahtera) pada laut.”
Setelah pengembaraan panjang itu, akhirnya ia kembali ke Kauniyah. Di Kauniyah ia menetap beberapa tahun. Namun ternyata, rasa rindu dan cintanya kepada sang guru tak dapat dipendam. Karena itu, disertai beberapa sahabat, ia kembali berangkat ke Damaskus.
Tapi ternyata, usahanya itu kembali gagal. Akhirnya ia pun pulang kembali ke Kauniyah. Jalaluddin pasrah. Dalam sajaknya, sufi ini berkata: “Aku tidak akan mencari lagi. Kini aku akan mencari diriku sendiri.” Benarkah ia mampu melihat dirinya sendiri seperti melihat Syamsuddin, sang guru yang dikasihinya itu?
Sejak itu yang dijadikan sebagai teman dalam kesedihan adalah Shalahuddin ad-Dukak. Ia merupakan teman yang istimewa. Teman tempat mengadu dari segala kesedihan dan kegalauan hatinya. Rasanya ia tidak bisa tentram tanpa kehadiran Shalahuddin di sisinya. Sepuluh tahun lamanya Shalahuddin menemaninya dalam keadaan seperti itu.
Sayang, di tahun 658 Hijriyah, Shalahuddin meninggal dunia.
Rumi pun kembali bersedih. Sebagai gantinya, Jalaluddin kemudian menjadikan Syal Hasamuddin sebagai kawan dalam kesepiannya. Hasamuddin inilah yang mengilhami kelahiran sajak-sajak ‘al-Matsnawi’ yang terkenal itu.
Hasamuddin memang motivator. Ia bisa membangkitkan kebekuan hati Rumi. Itulah sebabnya, ketika istri Hasamuddin meninggal dunia dan Hasamuddin berkabung, Jalaluddin pun tiba-tiba mengalami kemandegan kreatifitas. Penulis sajak yang indah itu berhenti tak berkarya lagi. (jss/bersambung)