BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU– Keterlibatan semua pihak menjadi kunci pengelolan hutan produksi. Seperti Pengelolaan Hutan (KPH) Tasik Besar Serkap yang melibatkan masyarakat dan organisasi untuk mengelola kawasan. Tak hanya memanfaatkan hasil kayu namun memanfaatkan hasil hutan non kayu. Seperti madu, damar, rotan dan ikan.
“Masyarakat terlibat dalam budidaya kepiting dan ikan. Hasilnya juga tinggi,” kata Kepala seksi perencanaan dan pemanfaatan penggunaan kawasan hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tasik Besar Serkap Apidian Suherdianta. Penjelasan disampaikan dalam diskusi kolaboratif manajemen untuk peningkatan tata kelola hutan produksi yang lestari dalam Festival Media 2016 di Pekanbaru, Minggu 20 November 2016.
KPH bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk budidaya ikan. Alasannya kawasan melintas sungai yang populasi ikan melimpah. Jika hutan lestari, katanya, pertumbuhan ikan semakin cepat. KPH yang ditetapkan sejak 2010 ini dianggap berhasil mengelola hutan produksi berkolaborasi dengan para pihak.
Kini, tengah diajukan dana jasa lingkungan kepada lembaga swasta. Kawasan seluas 513 ribu hektare ini berada di Kabupaten Siak dan Belawan. Sekitar 90 persen kawasan berupa hutan gambut. “Jika tak dikelola bagus bakal menjadi bencana,” katanya.
Kawasan KPH Tasik Besar Serkap meliputi 16 izin Hutan Tanaman Industri, restorasi ekosistem 4 dan dua hutan desa. Selebihnya 41 ribu hektare yang digunakan untuk pengelolaan hak pengelolaan hutan (HPH). Rinciannya, katanya, pemanfaatan hutan tanaman 65 persen, pemanfaatan hutan alam 25 persen, selebihnya untuk program REDD.
Kini juga mulai dengan pengembangan investasi berupa usaha karet, kepiting , budidaya sagu, penangkaran arwana dan buaya. Seluas 100 hektare lahan ditanami karet bersama masyarakat. Sedangkan untuk penanganan kebakaran hutan melibatkan 15 orang.
“Asap jarak pandang 20 meter tak kelihatan,” katanya.
KPH juga memiliki program rehabilitasi kawasan seluas 14 ribu hektare. Tujuannya agar hutan tetap lestari. Sehingga harus dirawat dan direhabilitasi secara terukur. Sementara masyarakat yang bermukim di sekitar kawasa juga menjadi perhatian agar tak melakukan aksi penjarahan dan penebangan kayu secara ilegal.
“Moratorium hutan alam turun menekan ilegal logging,” ujarnya. Kolaborasi pengelolaan kawasan hutan produksi turut mencegah konflik. Pengelolaan sumber daya alam selama ini dianggap sebagai sumber pemicu konflik.
“Konflik terbesar masalahnya ada di sektor sumber daya alam,” kata dari The Nature Conservacy Rudi Zapariza.
Konflik, katanya, terjadi di semua tempat. Para pihak harus duduk bersama mencari solusi atas persoalan yang dihadapi.(rilis)