Setiap orang pasti ingin menjalankan kehidupan dengan penuh keseimbangan. Mampu menyelesaikan berbagai persoalan tanpa keputus asaan, melewati kesedihan dan rintangan tanpa penyesalan, dan menikmati kesenangan atau kebahagiaan dengan kewajaran.
Lalu, bagaimana caranya kita menjalankan dan menikmati kehidupan dengan segala dinamikanya? dengan segala pahit manis, tantangan dan peluang, kesedihan dan kesenangan, maupun antara kebahagiaan dan penderitaan?
Jawabannya tergantung pada KETERGANTUNGAN seseorang.
Bila kita lebih banyak menggantungkan harapan, bantuan atau permohonan kepada manusia dalam aspek kehidupan apapun itu, maka siap – siaplah untuk menerima kenyataan bila suatu ketika kita akan kecewa atas hasil yang akan diperoleh. Mengapa, karena sesungguhnya manusia memiliki keterbatasan sebagaimana diri kita yang juga memiliki keterbatasan dengan segala kelebihannya.
Lantas, apakah kita tidak boleh bergantung, berharap atau memohon bantuan kepada seseorang? Jawabannya tentu tidak. Sebab, kita dan orang – orang lainnya adalah manusia yang terlahir sebagai makhluk sosial, makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain, saling melengkapi, saling menerima dan memberi. Artinya, boleh – boleh saja bila kita bergantung kepada seseorang, berharap kepada manusia atau memohon bantuan. Permintaan bantuan atau permohonan kita kepada manusia merupakan wujud bagian dari usaha.
Hanya saja, KETERGANTUNGAN tersebut harus memiliki batasan yang jelas, batas kewajaran, terukur dan disadari sejak dini. Bahwa kadar ketergantungan kita tidak boleh melebihi batas kewajaran, yakni melampaui ketergantungan yang hakiki. Karena ketergantungan yang sesungguhnya, yang hakiki ialah ketergantungan kepada Tuhan. Ini maknanya, ketergantungan kepada manusia, entah itu tergantung akan kebutuhan, tergantung akan bantuan, pertolongan atau harapan, cukuplah sewajarnya saja. Sebab, manusia memiliki keterbatasan dengan segala kelebihannya sebagaimana keterbatasan yang kita miliki.
Inilah yang harus kita sadari dari awal, kita pahami bahwa ketergantungan kita kepada manusia cukuplah sebatas kewajaran, sebatas sunatullah karena kita manusia sosial, manusia yang tidak hidup sendiri. Melalui kesadaran sejak dini atau pemahaman yang baik (batasan ketergantungan), maka jumlah kekecewaan yang muncul hanya sebatas kewajaran saja dan dapat kita terima. Sebab, ketergantungan kita yang sesungguhnya hanya kepada Allah Subhanallah ta’ala, Tuhan penguasa Jagat Raya.
Dengan kata lain, Tuhan tak memiliki keterbatasan, tak memiliki kekurangan, tak memiliki ketergantungan dengan siapapun, karena Tuhan memiliki segalanya. Itulah mengapa, ketergantungan kita kepada manusia tidak boleh melampaui ketergantungan kita kepada Tuhan. Ketergantungan kepada Tuhan harus melampaui ketergantungan kepada manusia, bukan sebaliknya. Jika ini dapat dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari, aspek apapun itu, maka kita tidak akan kecewa kepada manusia melainkan sewajarnya saja.
Jika di ilustrasikan dalam kehidupan berorganisasi, maka ketergantungan kita kepada manusia (baik itu teman, rekan kerja, pimpinan, ulama, pakar, keluarga dan lainnya) tidak boleh lebih dari 50+1 (lebih dari setengah yang menyebakan terjadinya dominasi atau kelebihan). Ini hanyalah contoh sederhana. Dan biasanya, semakin besar dominasi ketergantungan seseorang kepada Tuhannya, maka kecendrungan kedekatan seseorang tersebut kepada Tuhannya semakin dekat pula.
Jika ketergantungan kita kepada Tuhan dengan penuh keyakinan melebihi ketergantungan pada apapun, maka bersiap – siaplah untuk menerima yang terbaik. Bagaimana mungkin kita akan kecewa, putus asa, takut, cemas, sedih atau merasa menderita, jika kita bergantung kepada pemilik Semesta Alam, pemilik bumi dan langit.
Yang menjadi masalah ialah, seberapa yakin kita bahwa kita benar – benar telah bergantung kepada Tuhan? Bahwa ketergantungan kita memang sangat besar dari apapun? Dan seberapa dekat kita kepada Tuhan, tempat kita bergantung?
Karena bagaimana mungkin kita mengaku yakin, bahwa ukuran ketergantungan kita kepada Tuhan jauh lebih besar dari ketergantungan apapun (termasuk manusia), sementara kita jauh dari Nya. Sebab hukumnya berbanding lurus, semakin dekat kita kepada Tuhan maka dominasi ketergantungan kita kepada Tuhan juga semakin besar. Sebaliknya berlaku hal yang sama, semakin jauh kita kepada Tuhan maka dominasi ketergantungan kita kepada Tuhan juga semakin kecil.
Jika begitu, seberapa dekat kita dengan Tuhan? Jawabannya, mari kita menjawab sendiri dengan penuh kejujuran agar masalah ketergantungan ini dapat kita perbaiki untuk hidup yang lebih seimbang.
Kesimpulannya, prinsip ketergantungan ini berlaku dalam aspek kehidupan apapun. Baik terkait dengan teman, tetangga, rekan kerja, pimpinan, ulama, rekan bisnis, guru, keluarga kita, dalam dunia bisnis, dunia kerja, dunia politik, dunia kampus dan lainnya.
Jika kita membutuhkan pertolongan atau bantuan dari siapapun, maka janganlah terlalu berlebihan (sangat bergantung), cukup sewajarnya. Gantungkanlah permohonan, bantuan, harapan atau pertolongan tersebut kepada Allah Subhanalllah Ta’ala, pemilik bumi dan langit. Yakinlah, Tuhan tidak pernah mengecewakan kita!!!
Seberapa dekat (bergantung) kita dengan Tuhan?
Baca:Â Berbisnis di Masjid Vs Berbisnis di Mal. Kita dimana?
Penulis: Muhammad Junaidi
Wartawan portal berita dan bisnis BERTUAHPOS.COM