BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Direktur Bahtera Alam, Hari Octavian, menaruh keprihatinan besar terhadap sengketa tenurial di Provinsi Riau.
Sengketa ini berpotensi mengikis hak-hak dan penguasaan masyarakat adat terhadap hutan adat yang telah menjadi ladang penghidupan mereka sejak zaman nenek moyang dulu.
Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sejak tahun 2020 hingga 2023, telah terjadi 660 letusan konflik agraria di Indonesia. Data ini memperinci bahwa pada tahun 2020, sebanyak 241 konflik muncul, diikuti oleh 207 konflik pada 2021, dan 212 konflik lainnya pada 2022.
Di Provinsi Riau, kata Hari, situasinya cukup memprihatinkan. Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) melaporkan puluhan sengketa tenurial pada Februari 2023. Tim dari Pemprov Riau dan LAMR telah mengidentifikasi lebih dari 80 lokasi sengketa lahan, “Dengan 11 di antaranya dianggap mendesak untuk diselesaikan.”
Bahtera Alam menyimpulkan, bahwa sengketa tenurial di Riau, sebagian besar dipicu oleh izin konsesi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.
Kebutuhan akan penguasaan tanah dan lahan, bahkan kawasan hutan, untuk kepentingan ekonomi dan bisnis, menjadi pemicu utama sengketa tersebut.
Sengketa tenurial bukan hanya sekadar perselisihan klaim penguasaan lahan, tetapi juga menciptakan ketegangan antara masyarakat adat, perusahaan, pemerintah, dan LSM. “Dampaknya merambah ke berbagai aspek, termasuk lingkungan, ekonomi, dan hak asasi manusia,” tuturnya.
Atas dasar ini, menurutnya, pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat mengambil tindakan proaktif dalam menangani sengketa tenurial ini, menjaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat serta lingkungan.***