BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Polemik Asap dan Karhutla di Provinsi Riau disinyalir mengandung konspirasi sehingga cukup sulit untuk diselesaikan. Apalagi setelah melihat sikap pemerintah yang cenderung belum berani mengambil langkah tegas terhadap pihak-pihak, terutama secara kelembagaan yang terbukti terlibat di dalamnya.
“Kita membaca situasi yang sedang berkembang sehingga diyakini mungkin ada indikasi konspirasi. Itu berat. Mainnya sudah atas. Solusinya menurut saya, publik harus berani,” ujar pakar lingkungan dan cendikiawan Riau, Dr. Elviriadi, Kamis, 19 September 2019.
Menurut pandangannya, saat ini Riau Kehilangan publik figur yang berani tampil kedepan membawa kekuatan rakyat untuk melawan persekongkolan ini. Hal semacam ini perlu disikapi secara serius bukan hanya pada tatanan elit, tapi juga masyarakat hingga lapisan paling bawah.
Pria yang biasa disapa Elev ini juga mengungkapkan, bahwa problematika 4,2 juta hektar lahan gambut di Riau tidak diakomodir secara baik oleh pemerintah dalam legalitas perundang-undangan. Untuk hal ini bisa dilihat dari banyaknya perusahaan perkebunan di Riau yang diberikan izin operasional di atas lahan gambut.
Baca :Â Kabut Asap, Aktivis Minta Pemerintah Sediakan Tempat Evakuasi untuk Warga Riau
“Dari 4,2 juta hektar lahan gambut di Riau 77% diantaranya sudah dalihfungsikaan dan ini melanggar ketentuan hukum. Aliha fungsi itu kemudian membuat gambut tidak lagi bersifat seperti sifat aslinya, mengering, sehingga sangat mudah terbakar,” jelasnya.
Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI ini menjelaskaan, tanah gambut merupakan satu kesatuan hidrologis yang tak bisa dipisahkan satu sma lain. Jika satu kawasan gambut dibelah untuk pembangunan kanal, maka bagian lain dari wilayah gambut itu juga ikut mengering.
Struktur tanah gambut yang berongga menyimpan oksigen, sehingga kalau terbakar maka akan sangat sulit untuk dipadamkan. Oleh sebab itu, kebakaran lahan gambut di Riau cepat sekali meluar, karena korporasi diberi keleluasaan untuk menggarap lahan tersebut.
Elev menilai, selain soal indikasi konspirasi, masalah asap akibat Karhutla semakin diperburuk dengan dengan keteledoran bahwa kelemahan peraturan tidak dianggap sebagai suatu akar kesalahan. Sehingga para kepala daerah ramai-ramai memadamkan api dan lupa untuk memperbaiki regulasi.
“Dengan demikian pemerintah juga akhirnya abai bahwa ada sekian juta masyarakat yang menanggung dampak dari Karhutla karena menghirup asap. Kepala daerah harusnya bukan hanya memadamkan api dilahan dan menggiring opini publik. Kalau terus seperti ini, maka tahun depan dan seterusnya asap berpotensi muncul lagi,” tambahnya.(bpc3)