BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Selama bulan Ramadhan, khususnya di 10 malam terakhir Ramadhan, banyak orang yang melakukan i’tikaf. Namun, apakah i’tikaf itu?
Menurut Ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru, Ustaz Akbarizan, i’tikaf pada dasarnya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW sendiri telah mencontohkan untuk beri’tikaf.
“Walau sebenarnya i’tikaf itu tidak hanya dilakukan dalam bulan Ramadhan. Namun, jika dilakukan di bulan Ramadhan, tentu lebih afdhal lagi. Apalagi kita bertujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar,” jelas Ustaz Akbarizan kepada bertuahpos.com, Minggu 26 Mei 2019.
Untuk mendapatkan malam lailatul qadar itu, lanjut Ustaz Akbarizan, maka i’tikaf dilakukan di waktu yang menurut Rasulullah lailatul qadar itu ada. Kalau bisa, beri’tikaflah selama malam bulan Ramadhan.
“Kalau tidak bisa dilakukan setiap malam, kata Rasulullah, lakukanlah i’tikaf di malam-malam ganjil. Malam ke-1, malam ke-3, malam ke-5, hingga malam ke-29,” tambah dia.
Jika masih tidak bisa melakukan i’tikaf di malam-malam ganjil, maka ambillah di sepertiga terakhir malam Ramadhan, yaitu 10 malam terakhir. Artinya, mulai beri’tikaf di malam 21, malam 22, malam 23, dan seterusnya.
“Kalau masih tidak bisa juga beri’tikaf di 10 malam terakhir, maka beri’tiqaflah di malam ganjil 10 Ramadhan terakhir itu. Beri’tikaflah di malam 21, 23, 25, 27, dan malam 29,” papar Ustaz Akbarizan.Â
“Itulah waktu-waktu kemungkinan malam lailatul qadar itu ada. Tapi kapan, Allah tidak sebutkan,” pungkasnya.
“Rasulullah SAW setiap bulan Ramadhan, Nabi Muhammad SAW melakukan i’tikaf sepuluh hari. Pada tahun beliau wafat, beliau melakukan i’tikaf 20 hari” (Hadist riwayat Bukhari).
“Rasulullah SAW selalu melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sampai beliau dipanggil Allah SWT (wafat). Setelah Rasulullah SAW wafat, istri-istrinya meneruskan kebiasaan i’tikaf” (Hadist riwayat Aisyah ra.). (bpc2)