Bagaimana Seorang Akademisi Bersikap di Tengah Pandemi COVID-19?

Konsep pendidikan

Mantan Rektor Universitas Riau Ashaluddin Jalil - Foto: Oong.

BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Pandemi COVID-19 ini menjadikan rujukan kita untuk berbenah. Itulah kalimat awal yang diungkapkan ahli Sosiologi Demografi Prof Dr Ashaluddin Jalil, dalam sebuah perbincangan dengan Berruahpos.

Dia sepakat bahwa masa pandemi COVID-19 seperti ini tidak lain merupakan sebuah teguran. “Akademisi harus berbenah total, Jangan masa bodoh lagi, pertama kita diajarkan bersih-bersih, menjaga jarak, tidak berkumpul di tengah ramai, nah jika kembali di dunia pendidikan, artinya kan research,” ungkapnya.

Menurutnya, ketika calon akademisi masuk ke lingkungan kampus, dan ingin jadi dosen. Bagaimanapun dia harus mengembangkan diri. “Karena itu sebuah tuntutan. Kalau tidak dia akan tenggalam, jangan hanya daripada tidak dapat kerja.”

Hal lain yang juga tak kalah penting, kata sosiolog perkotaan ini, ketika ada kritik dan saran, seorang akademisi harus punya sikap. Akademisi harus menyadari bahwa manusia punya kelemahan. Sebab itu, kekurangan ini yang harus dilengkapi.

“Ini juga berhubungan dengan IT, jangan sampai kita gaptek. Jangan seorang dosen, mengajar hanya berpedoman pada buku lama atau buku kuning, maka tidak akan berkembang. Saat ditanya sama mahasiswa, tidak paham, ini berbahaya. Itu dipegang terus, padahal kita yang salah,” ungkapnya.

Konkritnya, jika mahasiswa memperoleh informasi keliru, kesimpulan pun keliru, jika menjadi dasar sebuah keputusan, tentu akan melahirkan keputusan yang salah.

“Yang namanya sebuab dedikasi, artinya kita amanah. Maka berbuatlah. Ketika dapat gaji, maka kewajiban tunaikanlah, apa sikap kita?”

Salah satu terobosan yang dilakukan Ashaluddin Jalil saat dia menjadi rektor di Universitas Riau, yaitu mendirikan rumah sakit pendidikan di lingkungan Universitas Riau.

Konsepnya, dalam kampus itu ada fasilitas yang mampu mendukung pendidikan kesehatan di kampus. Menurutnya, Dokter itu vokasi atau pendidikan tinggi yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Makanya perlu lagi koas (co assistant) selama 2 tahun.

“Nah, itulah rumah sakit pendidikan yang saya maksud. Aku menyebutnya health care, atau academic hospital. Bukan rumah sakit, tapi klinik atau pusat kesehatan, Makanya universitas kampus harus kuat. Sayang, kini ada 3.000 lebih universitas di Indonesia, pada saat pandemic merebak, yang sibuk bergerak hanya beberapa ekor kampus. Sebut saja UI, Unhas, Airlangga, Padjadjaran, dan secara mandiri Unand. Yang lain, hanya kumpul sembako. Padahal bisa menjadi laboratorium hidup,” ungkapnya. (bpc5)

Exit mobile version