Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang diperingati setiap tanggal 20 Desember sarat pelajaran berharga. Berawal dari keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia pada 20 Desember 1949, berujung perlawanan dari pejuang kemerdekaan. Singkat cerita, upaya pendudukan kolonial gagal total. Kunci utama keberhasilan mempertahankan kemerdekaan kala itu tentu bukan karena pejuang menang segi persenjataan. Jika dibandingkan justru jauh dari kata sepadan. Kepedulian terhadap kepentingan bersama merupakan faktor penentu.
Bagi putra-putri bangsa waktu itu tiada lebih penting daripada kemerdekaan hakiki. Semua perbedaan melebur dan berpadu demi satu cita yakni negeri merdeka dan bermartabat. Meski tak semua pribumi di posisi sama. Sebagian memilih berkhianat jadi abdi penjajah. Jabatan, harta dan hasrat sesaat menggelapkan pandangan mereka. Solidaritas yang menyatukan para pejuang kemudian menjadi dasar pencanangan Hari Sosial Nasional pertama pada 20 Desember 1958 oleh Menteri Sosial Moeljadi Djojomartono. Seiring waktu, peringatan berganti Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang kita kenal sampai sekarang.
Peringatan HKSN pengingat dan penyadar bagi generasi penerus, bahwa kemerdekaan NKRI bukan hadiah. Tapi buah semangat dan kesungguhan (jihad). Berkah kebersamaan tekad dan kesetiakawanan sesama saudara sebangsa. Para pendahulu kita memilih jalan mulia mengorbankan jiwa raga. Impian mereka dahulu mungkin sebatas meraih kemerdekaan. Tapi anugerah dibalik perjuangan mereka lebih dari itu.
Memberi kesempatan ke generasi bangsa hidup lebih baik, bermartabat dan terpenuhinya hak dasar manusia. Bicara konteks kekinian, pertanyaan yang relevan diajukan seberapa besar komitmen mempertahankan warisan perjuangan di masa lalu? Atau pengorbanan mereka cuman dianggap kisah epik masa lampau? Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan. Justru sebuah permulaan.
Sejarah akan selalu berulang, begitu ungkapan bijak. Kita memang telah merdeka. Tapi ingat, penjajahan dalam artian intrinsik selalu eksis. Tanpa sadar, mentalitas terjajah masih bersemayam. Diantara bentuknya banyaknya orang diam saat melihat kezaliman, ketidakadilan dan kemungkaran. Tak hanya itu, bahkan tak sedikit malah membela dan memuja pihak yang melakukan kezaliman, kecurangan dan melanggar etika dan norma yang berlaku.
Solidaritas
Kesetiakawanan dan solidaritas sosial disamping perekat juga penangkal ancaman bangsa dan negara. Solidaritas terbentuk lewat proses panjang, ditempa berbagai macam tantangan dan rintangan. Lalu memunculkan rasa senasib sepenanggungan. Kita patut berbangga nilai solidaritas masih bersemayam dan tertancap di tengah kehidupan berbangsa.
Salah satu bukti, Indonesia 6 kali berturut-turut dinobatkan sebagai Negara paling dermawan di dunia oleh lembaga survei amal internasional Charities Aid Foundation (CAF). Sikap kedermawaan pondasi solidaritas. Tidak mudah melatih jiwa mau berbagi dan berempati. Solidaritas masyarakat Indonesia tak hanya ke saudara sebangsa tatkala dilanda bencana. Namun lintas negara. Semisal isu Palestina. Solidaritas kemanusiaan muncul dari rasa senasib sepenanggungan merasakan penjajahan, dipertegas dalam konstitusi UUD 1945. Sungguh tak habis pikir orang mengaku Indonesia tapi membela penjajah israel.
Inilah contoh nyata mentalitas terjajah dimaksud. Bagaimanapun, asa solidaritas mesti dijaga. Terlebih menghadapi fenomena belakangan. Ada saja pihak mengembuskan pesimisme dan skeptisme. Diantaranya menyebut Indonesia diambang perpecahan. Tuduhan yang dilontarkan yakni mulai menguatnya sikap intoleran di tengah masyarakat hingga mencuatnya politik identitas.
Padahal berkaca ke realita, bukan itu penyebabnya. Kurang solid dan padu apa rakyat di negeri ini. Indonesia satu-satunya negara yang mana Pemerintahnya meminta masyarakat gotong-royong saling membantu warga yang membutuhkan jaminan kesehatan lewat program BPJS. Sementara Pemerintah negara lain menanggung sepenuhnya jaminan kesehatan. Sudahlah warga bayar pajak, warga diminta pula membantu negara jalankan kewajiban.
Konflik dan perseteruan bukan disebabkan masyarakat tak bisa menerima perbedaan. Di banyak kasus dipicu ketidakadilan. Mengutip perkataan seorang kandidat Calon Presiden dalam sebuah acara debat beberapa waktu lalu, “damai bukan berarti tiadanya kekerasan. Damai ada ketika keadilan terwujud”. Kekerasan pasti selalu ada. Namun berbekal keadilan, kekerasan dapat diredam. Semua gejolak terjadi akibat rasa tidak adil.
Dalam konteks Sumber Daya Alam (SDA) misalnya. Riau atas bawah diperas, tapi lebih separoh duitnya lari ke pusat. Bagian daerah tak sepadan. Iya kalau duit mengalir ke pusat dikelola dan dikembalikan ke daerah penghasil secara transparan dan berkeadilan. Alokasi belanja kementerian dan APBN perihal pembangunan infrastruktur sebagian besar terkosentrasi di Jawa. Daerah luar Jawa gigit jari. Berikutnya ketidakadilan kebijakan.
Masih ingat Pemerintah Joko Widodo pernah terbitkan aturan kontroversial pengampunan pajak (Tax Amnesty) bagi pengemplang pajak. Di mata masyarakat kebijakan barusan terkesan berpihak ke kalangan elit. Yang kaya semakin kaya, miskin makin melarat. Warga digusur demi proyek yang tidak berdampak langsung ke kehidupan atau demi investor asing. Hukum seenaknya dipermainkan. Yang dekat penguasa aman, yang berseberangan “ditertibkan”. Terciderainya rasa keadilan dapat memicu apatisme dan mendegradasi solidaritas. Selagi negara gagal menghadirkan keadilan, sulit berharap banyak. Kesetiakawanan bukan sebatas pidato. Butuh keteladanan. Jika negara dapat mewujudkannya, mudah bagi masyarakat menirunya.
Penulis: Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU