BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Pemprov Riau belum berkeinginan menerapkan PP nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Asisten II Sekdaprov Riau, Masperi menjelaskan jika PP itu diterapkan maka akan berdampak terhadap perekonomian pengusaha kelapa sawit di Riau.
“Di Riau sendiri PP itu masih belum bisa berjalan maksimal,” katanya, Rabu (26/04/2017).
Pemprov Riau khawatir dampak ekonomi yang akan timbul jika pelaksanaan regulasi tersebut diberlakukan. Oleh sebab itu, menurut dia, perlu dilakukab harmonisasi terlebih dahulu.
PP 57 tahun 2016 itu, diyakini akan sangat berkaitan dengan badan usaha dan bisnis perkelapasawitan di Riau. Jika aturan ini diberlakukan tentunya akan sangat berdampak terhadap jumlah produksi perusahaan tersebut.
Pada prinsipnya, bentuk keberatan itu sebenarnya sudah dilayangkan ke Kementerian Lingkungan Hidup (LHK). Di sisi lain sebagai bentuk perpanjangan pemerintah pusat, Pemprov Riau terpakda harus menjalankan regulasi itu.
Hingga saat ini, upaya untuk mencari jalan keluar nasih akan dilakukan. Sebab aturan itu nantinya akan sangat berdampak pada PDRB Riau dan nasional secara keseluruhan. Sebab, dia mengatakan, perekonomian Riau untuk saat ini masih sangat bergantung pada kelapa sawit.
Penerapan PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) dipastikan bakal rumit karena banyaknya kawasan gambut yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan perkotaan, dan kawasan lainnya.
Pakar gambut IPB yang juga anggota Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Basuki Sumawinata mengungkapkan lahan gambut seperti di pesisir Sumatera Selatan dan Jambi adalah lokasi  transmigrasi yang berkembang dengan baik. Masyarakat di sana membudidayakan hortikultura dan perkebunan.Â
“Lantas setelah berlaku PP gambut, apa mereka mau diusir?,†katanya.
Basuki juga menyatakan, pada lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare yang dulu terbengkalai pun, kini banyak dikelola dengan baik oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan kelapa sawit. Jadi, kata dia, tidak adil jika tiba-tiba pemerintah mengharuskan mereka pergi dari lahan yang menjadi penghidupannya selama ini.
PP Gambut diterbitkan pemerintah pada September lalu. Berdasarkan ketentuan tersebut sekitar 30% dari kawasan hirologis gambut langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung, yang terlarang untuk kegiatan budidaya. Sementara pada lahan yang difungsikan sebagai areal budidaya, ditetapkan muka air gambut paling rendah 0,4 meter.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menyatakan, pembatasan muka air gambut itu malah akan merendam akar dan mematikan tanaman akasia yang dikembangkan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Hal itu berarti PP Gambut akan menghentikan operasional sedikitnya 69 pemegang izin.Â
“Maka hal itu akan berdampak kepada sedikitnya 300.000 tenaga kerja langsung yang menggantungkan hidupnya di sana,” kata dia.
Dia juga mengingatkan, pemerintah harus siap untuk kehilangan devisa ekspor sekitar US$6 miliar dari komoditas pulp dan kertas, yang selama ini mendapat pasokan bahan baku berkelanjutan dari IUPHHK di lahan gambut. Nana juga mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk mengelola lahan jika akhirnya para pemegang izin berhenti beroperasi.
Apalagi kenyataan membuktikan kawasan hutan yang termasuk dalam kebijakan moratorium izin justru mengalami degradasi dan deforestasi lebih cepat. (bpc3)