“Contoh sederhana ya, kalau dulu penjualan satwa dilindungi secara ilegal itu banyak sekali kita temukan di pasar-pasar. Tapi sekarang mereka sudah menggunakan internet. Yang ditampilkan itu foto-foto koleksi satwa dilindungi. Tinggal transaksinya melalui nonn tunai,” ujarnya saat berkunjung ke Pekanbaru awal pekan lalu.
Dia menyebut, tantangan penegakan hukum saat ini dilakukan oleh multi aktor, sehingga upaya penegakan hukumnya harus melewati rantai kerja yang sangat panjang. Selain itu, yang menjadi kendala, kata Rasio, yakni adanya perlawanan, sehingga pembutiannya juga membutuhkan pekerja ekstra. Bahkan upaya penangan masalah kejahatan lingkungan harus dilakukan hingga dalam kancah internasional.Â
“Modusnya berkembang dengan aktor beragam, sehingga rantai pekerjaannya menjadi semakin panjang,” sambungnya.
Dia menambahkan, perlawanan yang dilakukan oleh penjahat lingkungan juga semakin intensif intensif, yakni melalui prapreradilan. Ini adalah kejahatan luar biasa. Dampaknya sangat berbahaya karena pasti merusak ekosistem sehingga berpotensi akan menyebabkan bencana ekologis. Penegakan hukumlah yang bisa menyelamatkan semuanya.
Rasio menyebut, kisaran kerugian negara, rata-rata di atas Rp1 triliun, sementara ada banyak kasus kejahatan lingkungan dengan nilai kerugian tersebut, belum terselesaikan.
“Logikanya, enggak ada orang yang bakar hutan karena iseng. Enggak ada orang yang iseng nebang kayu sampai ratusan ton. Artinya kejahatan ini memang terorganisir, ada yang melibatkan individu, korporasi, kelompok terorganisir, aparat, elit politik berpengaruh, dan bahkan aktor transnasional,” jelasnya. [bpc3]