BERTUAHPOS.COMÂ – Islam merupakan agama yang kompleks dalam mengatur seluk beluk kehidupan manusia. Bahkan Allah SWT menempatkan waktu khusus bagi suami istri untuk melakukan hubungan suami isteri.
Â
Rasulullah SAW punya kebiasaan khusus dalam masalah ini. Beberapa hadis yang kemudian banyak dijelaskan dalam tafsir, memberikan gambaran kepada umat Islam di masa kini bagaimana Rasul menggauli isterinya pada waktu-waktu yang dikhsuskan. Diantaranya, setelah melaksanakan salat tahajud.
Â
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh An-Nasai 1680 dan dishahihkan Al-Albani menyebut, Rasulullah SAW memiliki kebiasaan tidur di awal malam, untuk bisa bangun di pertengahan atau sepertiga malam terakhir. Kemudian beliau melakukan salat tahajud.Â
Â
Aisyah menceritakan, Rasulullah SAW mendekati istrinya setelah tahajud. Dari al-Aswad bin Yazid, bahwa beliau pernah bertanya kepada Aisyah tentang kebiasaan salat malamnya Rasul.
Selain melakukan tidur lebih awal kemudian tahajud pada sepertiga malam, jika sudah memasuki waktu sahur, Rasul melaksanakan salat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur.
Â
Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi isterinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah.
Â
Berdasarkan keterangan A’isyah di atas, sebagian ulama lebih menganjurkan agar hubungan badan dilakukan di akhir malam, setelah tahajud, dengan pertimbangan-pertimbangan berikut ini.
Pertama, mendahulukan hak Allah, dengan beribadah kepadaNya dalam kondisi masih kuat. Kedua, menghindari tidur ketika junub, karena bisa langsung mandi untuk shalat subuh.
Â
Ketiga, di awal malam umumnya pikiran penuh, dan di akhir malam umumnya pikiran dalam keadaan kosong. Mula Ali Qori, mengutip keterangn Ibnu Hajar menjelaskan, Mengakhirkan hubungan badan hingga akhir malam itu lebih baik. Karena di awal malam terkadang pikiran orang itu penuh. Dan melakukan jima di saat pikiran penuh, bisa jadi membahayakan (dengan sepakat para ahli) karena bisa jadi dia tidak bisa mandi, sehingga dia tidur dalam kondisi junub, dan itu hukumnya makruh. (Mirqah al-Mashabih, 4/345).
Â
Dewan Pembina Konsultasi Syariah, menutip dari penjelasannya dalam tanya jawab mengenai masalah berhubungan suami isteri seperti dilansir dari konsultassyariah.com, semua keterangan tersebut tidak lain merujuk pada kebiasaan, semata-mata tradisi yang terkait adat atau kebutuhan fisik seseorang, tidak bisa dijadikan acuan bahwa itu sunah atau dianjurkan. Karena itu, pertimbangan yang disebutkan oleh Ibnu Hajar hanya pertimbangan terkait dampak baik ketika hubungan badan diakhirkan hingga mendekati sahur.Â
Â
“Dengan demikian, kesimpulan yang bisa kita berikan, bahwa dalam masalah ini tidak ada acuan baku, sehingga dikembalikan kepada kebutuhan dan kebiasaan masyarakat. Allahu a’lam,” ungkapnya. (bpc3)