BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Bonita sedang menjadi trending topik. Hampir semua media, lokal dan nasional, memberitakannya. Bahkan nyawa Bonita, Harimau Sumatera itu jauh lebih berharga dibanding nyawa dua manusia yang sudah dimangsanya, Jumiati karyawan perkebunan sawit PT Tabung Haji Indo Plantations yang diterkam Bonita pada 3 Januari 2018 lalu. Kemudian Yusri Effendi, buruh bangunan yang diserang dan diterkam Bonita pada Sabtu (10/3/2018) lalu.
Kedua korban Bonita ini ditaklukannya di Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir (Inhil) Riau, tepatnya dalam area kebun sawit PT Tabung Haji Indo Plantations, perusahaan asal Malaysia. Bonita menjadi topik dan Jumiati serta Yusri terlupakan, bagaimanakah nasib keluarga mereka sepeninggal dua orang yang menjadi tulang punggung keluarga ini?
Tetapi tulisan ini juga tiadakan mengupas Jumiati dan Yusri, karena Bonita, harimau betina yang hebat itu, tentu bukan tanpa alasan masuk perkebunan dan menjadi ganas, lalu memangsa manusia. Apalagi saat ini, perilaku Bonita makin menakutkan, sering menampakan diri pada manusia. Bonita bahkan juga menampakan diri di pemukiman masyarakat, bukan hanya di kebun sawit PT THIP di Pelanggiran itu saja.
Bonita adalah spesies Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered). Harimau Sumatera menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup: pertama, mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam oleh perdagangan illegal, dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan. Kedua, karena habitatnya juga makin punah, hutan berganti perkebunan.
Artinya, polah Bonita saat ini lebih karena hal kedua, habitatnya tiada dia jumpa dimana, maka kebun sawit jadi areal bermainnya. Rusa dan hewan lain pun tiada di areal sawit, maka tentu manusia dilihat Bonita seperti rusa, santapan yang enak untuk mengenyangkan perutnya. Pertanyaannya, apakah ada yang mengetahui kondisi ini?Â
Jawabnya, sangat mengetahui. Misalnya, Anggota Komisi II DPRD Riau, Sugianto pernah mengatakan, PT Tabung Haji Indo Plantation (THIP), perusahaan yang mengelola 79.664 ha lahan harus bertanggung jawab karena telah merusak hutan dan membuat tidak ada lagi ketersedian habitat (hutan) untuk harimau.
Kemudian, penggiat lingkungan, Jikalahari mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mereview AMDAL dan izin lingkungan PT Tabung Haji Indo Plantation (THIP) paska peristiwa meninggalnya Jumiati diterkam Bonita dalam konsesi perusahaan. Menurut data Jikalahari 2.101 ha dari 79.664 ha areal konsesi PT THIP berada dalam kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi Tetap berdasarkan SK 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016.
Bahkan pada tahun 2015 Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau yang diketuai Suhardiman Amby menemukan, PT THIP terbukti menanam di luar areal konsesi yang diberikan Kementrian Kehutanan di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), seluas 7.075 ha, menguasai lahan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 5.914 ha dan PT THIP juga diduga melakukan pengrusakan lingkungan menanaman di Daerah Aliran Sungai (DAS) pada kategori sungai-sungai kecil.
Jika kemudian Tim BKSDA Riau kewalahan menangani proses evakuasi terhadap Bonita, itu sah sah saja. Bahkan sudah gagal dua tahap, seperti dikatakan Kepala BKSDA Riau, Suharyono, evakuasi tahap pertama dan kedua terhadap Bonita gagal. Bahkan BKSDA sudah berusaha menjerat Bonita dengan perangkap dan memberi umpan makanan yang dicampur dengan obat bius, tetap saja gagal.
Artinya, seperti bak kata pepatah, mencegah lebih baik daripada menangani setelah terjadi, itu pulalah yang kini sedang diperlihatkan Bonita, harimau betina yang menjadi hebat, karena ulah manusia juga, akibat keserakahan manusia juga. Andai saja Bonita dibiarkan menikmati habitatnya, dengan cukup merambah lokasi yang memang hanya pantas untuk perkebunan saja, tentu kasusnya tidak menjadi berbelit seperti saat ini. Tapi segalanya sudah terlanjur, Bonita mengalahkan logika, Bonita mengalahkan senjata, dia ada tapi seolah tiada, dia tiada tapi tiba-tiba ada.
Tetapi sungguh belum terlambat untuk kembali menata hutan, menata alam, sebelum korban berjatuhan, sebelum Bonita lebih hebat lagi. Yang diperlukan, aturan yang jelas, pengawasan yang benar dan tentunya perusahaan yang memang mengelola alam sesuai apa yang memang sepantasnya saja buat mereka, bukan lalai dan mengabaikan alam, mengabaikan binatang karena akhirnya bermuara kepada mengabaikan manusia.
Bahkan Allah pun sudah dengan jelas mengatakan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)…(QS. Ar-Ruum Ayat 41-42).
Artinya, Pencipta alam semesta, Allah YME, dengan nyata telah memperingatkan manusia, jauh beratus ratus tahun yang lalu, akan akibat perbuatan tangan manusia itu sendiri, meski yang menjadi korban bukan mereka yang melalaikan dan abai, justru manusia lain yang sedang mencari kehidupan, sekedar untuk makan minum keluarganya. Tetapi setidaknya ini bisa menjadi petunjuk, bisa menjadi langkah awal, kembalilah pada ketentuan, alam itu memberi lalu kenapa kita memunahi?Â
Pemerintah tentu harus ada untuk rakyat, dengan membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kini rakyat hanya menunggu, apakah mereka tetap akan menjadi umpan dan pemerintah serta pemilik modal yang ongkang-ongkang kaki dari balik mejanya yang mahal, tanpa sedikitpun cemas apalagi rasa takut, karena Bonita memang tiada kan sampai ke tempat mereka berada.***