BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Tingginya angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Riau sudah cukup menjadi bukti, bahwa selama ini pemerintah tidak fokus tangani masalah tersebut. Oleh sebab itu orientasi kerja Pemprov Riau perlu diubah.
“Memang pejabat kita di Riau ini orientasi kinerjanya bukan ke bawah, tapi ke atas. Maka itu perlu diubah perilaku birokrasi pejabat-pejabat kita ini,” kata Pengamat Sosial, M Rawa El Amady saat dihubungi bertuahpos.com, Selasa 13 Maret 2018.
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Anak (P2TP2A) Riau mendata selama 2017 saja ada 180 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang mereka tangani. Angka ini hampir sejalan dengan data sementara di P2TP2A Kota Pekanbaru, yakni ada 107 kasus kekerasan kepada anak terjadi pada tahun 2017.
Sedangkan dalam catatan Kemen PPPA, Riau merupakan daerah nomor dua tertinggi dalam kasus kejahatan terhadap anak. Data ini dipaparkan oleh Menteri PPPA, Yohana Yambise. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mencatat Sepanjang tahun 2017, tercatat 72 kasus kejahatan seksual terhadap anak terjadi di Riau
“Kalau perilaku birokrasi Pemprov Riau lebih egaliter pasti fokus penyelesaian mereka lebih mementingkan masalah masyarakat, bukan berupa memenuhi target berdasarkan penilaian atasannya tapi lebih kepada kepentingan masyarakat,” sambung Rawa El Amady.
Dia menambahkan, masalah ini memang menjadi problem birokrasi besar di Tanah Air. Di Riau sendiri khsususnya hampir semua dinas pemerintahan di Riau orientasinya lebih kepada penilaian atasan, bukan fokus menyelesaikan masalah di bawah (masyarakat).
“Pertama, menurut saya yang harus ada perubahan kultur birokrasi itu. Kedua, memang masalah ini sangat berkaitan dengan kebiasaan kehidupan masyarakat selama ini. Laki-laki masih dianggap dominan dalam rumah tangga, sehingga anak dan perempuan memandang kalau mereka berada di posisi bawah,” sambungnya.
Baca:Â Kasus Kekerasan Anak Tinggi di Riau, Ini Penyebabnya Menurut Kriminolog
Terhadap ketidaksetaraan posisi ini membuat kaum laki-laki seolah lebih kuasa dalam keluarganya. Padahal ada batasan-batasan atau ruang lebih diberikan kepada anak dan perempuan dalam keluarga. Hal semacam ini memang harus segera diperbaiki.
Dia menawarkan solusi, selain masalah anggaran, pemerintah perlu unit khsusus yang lebih fokus dalam menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan. Unit khusus ini bukan hanya menangani soal kasus, tapi juga bekerja untuk mengubah stigma demikian dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
“Jadi penyelesaiannya bukan hanya pada peristiwa yang sudah terjadi, tapi lebih kepada mengubah perilaku dalam rumah tangga. Program yang memberikan ruang lebih luas kepada anak dan istri dalam rumah tangga untuk bisa saling menghargai satu sama lain,” tanbahnya.
M Rawa El Amady menjelaskan, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, latar belakang pendidikan juga memberi pengaruh mengapa istri dan anak mendapatkan sedikit ruang dalam keluarga. Bahkan pengaruh itu bisa saja muncul dari yang bersangkutan, si perempuan (istri) merasa tidak setara dengan laki (suami) maka dia lebih memilih untuk mengikuti setiap keputusan yang dibuat oleh laki-laki.
“Apakah budaya seperti ini bisa berubah dengan pendidikan? Jawabannya, bisa. Tapi tidak signifikan jika tidak didukung oleh perangkat lain yang dibuat oleh negara,” ujarnya. (bpc3)