BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Saat ini, memilih pemimpin agaknya lebih hanya dinilai dari segi popularitas, sebagaimana yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey yang memperlihatkan popularitas ketimbang kapabilitas dan kapasitas mereka sebagai manusia. Tak heran, partai-partai pun menjatuhkan pilihan mereka berdasarkan hasil survey.
Â
Maka bermunculanlah calon-calon pemimpin yang sosoknya selama ini sungguh ini tiada dikenal rakyat, tiada mengenal ilmu memimpin, tapi bergelimang harta benda dan harta benda ini kemudian menyilaukan mata rakyat sehingga mereka pun melaju dan menang, atas dukungan partai yang juga ‘silau’ oleh kepopuleran tersebab kekayaan yang bisa menipu mata rakyat tadi.
Padahal, logikanya, jika popularitas merupakan ukuran yang dipakai seseorang untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah, maka betapa rendahnya makna seorang pemimpin. Padahal, pemimpin adalah seorang teladan bagi masyarakatnya dalam semua hal, seperti perilaku, ilmu, dan kehidupannya.
Lebih dari itu, pemimpin harusnya juga seorang visioner yang mampu membawa masyarakat yang dipimpinnya menjadi masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan mendapatkan perlindungan nyata sebagai rakyat, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan atau hak hidup yang mendasar, sandang, papan dan pangan.
Seperti teori Aristoteles (Filsuf Yunani), negara (pemerintahan) dibentuk untuk mensejahterakan seluruh warga negara. Jika negara tidak mampu membuat warga negaranya menjadi makmur, maka, negara berarti tidak hadir menjaga kemakmuran rakyatnya dan itu berarti negara tidak ada.
Negara dipimpin oleh seorang kepala negara dan untuk tingkat daerah dipimpin oleh seorang Gubernur atau Walikota dan Bupati. Artinya, untuk mencapai apa yang dikatakan Aristoteles tadi, pemerintahan tentunya harus dipimpin oleh seorang yang memang memiliki jiwa kepemimpinan bukan sekedar menjadi jabatan yang berakhir pada kepentingan pribadi dan kelompok, menyuburkan korupsi dan pemerintahan yang syarakat kolusi.
Sementara itu, para pemimpin di daerah diberi wewenang untuk mengelola sumber daya lokal yang dimiliki untuk membuat masyarakatnya menjadi lebih sejahtera. Mereka dipilih dan diberi kepercayaan untuk memimpin rakyat agar lebih sejahtera dan membangun daerah menjadi lebih maju. Di tangan para pemimpin itulah ditentukan bagaimana masa depan rakyat, dan di pundak para pemimpin itu digantungkan harapan-harapan rakyat yang dipimpin.
Seperti dalam cerita perwayangan, Resi Bhisma sebelum ajal memberi nasihat kepada Pandawa bahwa tugas utama seorang pemimpin adalah mencurahkan perhatian kepada bawahan sekaligus mengesampingkan kepentingan pribadi dan keluarganya.
Entah karena dipilih berdasarkan faktor popularitas semata atau tersebab ilmu memimpinnya tidak ada, waktu membuktikan kepada kita, jarang pemimpin seperti yang dibisikan Resi Bhisma kepada Pandawa tersebut. Lihatlah, betapa banyak para pemimpin kemudian terjerembab dalam kasus korupsi dan lebih memalukan lagi, mereka terjerat bahkan ada yang suami istri atau bapak dan anak. Melalui tangan KPK, kita bisa lihat betapa banyak kepala daerah yang akhirnya harus mengenakan baju berwarna orange, milik KPK tersebut.
Harusnya, seorang pemimpin adalah seorang good leader bukan great leader. Mahatma Gandhi adalah salah seorang contoh pemimpin yang good leader, sebaliknya Hitler great leader. Gandhi memimpin dengan penuh pengorbanan, melayani rakyat dan mengesampingkan kepentingan keluarga. Hitler memimpin rakyat dimotivasi ambisi pribadi yang besar.
Baik good leader maupun great leader adalah sama-sama profesional. Tetapi, good leader memiliki dan mengembangkan karakter baik. Oleh karena itu, dalam kepemimpinan ada yang menyebut faktor keberhasilan ditentukan terutama oleh karakter dan baru kepandaian. Orang berwatak baik sulit dicari, sedangkan kepandaian bisa ditingkatkan lewat latihan.
Pada akhirnya, salah memilih menyebabkan pelayanan publik yang tidak memenuhi harapan, kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh sebagian pemimpin sampai tindak pidana korupsi, kasus-kasus pelanggaran “tiga ta†(skandal harta, tahta dan wanita) yang melibatkan sebagian pemimpin, serta kemampuan sebagian pemimpin yang kurang memadai dalam menghadapi situsasi krisis multidimensi yang melanda masyarakat dewasa ini.
Padahal, proses demokratisasi di era reformasi telah berkembang lebih maju dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Pemilihan umum telah dilakukan secara langsung, baik pemilihan calon legislatif (caleg), pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Akhirnya, muncullah krisis kepemimpinan dan jika ditinjau dari lubuk hati yang paling dalam, krisis kepemimpinan ini disebabkan krisis moral, karena krisis kepemimpinan itu berakar dari krisis moral. Tentunya juga perlu diselesaikan secara moral, sebelum ada penyelesaian secara teknis manajerial.
Barangkali, bicara khusus Riau yang sedang berpesta memilih pemimpin, masyarakat bisa tidak salah pilih jika mencari pemimpin yang tidak terdampak krisis moral, cukup merujuk pada prinsip al akhlaqul karimah saja, yakni, ash shidqu (benar), al wafa bil ‘ahd (tepat janji), ta’awun (tolong menolong), al ‘adalah (keadilan) dan istiqamah (konsisten). Semoga.***