BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Ribuan mahasiswa melakukan aksi demontrasi di kantor DPRD Riau, pada Senin 5 Maret 2018. Aksi unjuk rasa ini mendesak DPRD Riau segera menyelesaikan revisi pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Seluruh masa aksi bahkan memaksa masuk ke ruang rapat paripurna dan melakukan sidang terbuka.
Terhadap masalah tingginya harga pertalite di Riau Menurut Branch Manager Pertamina Sumbar-Riau Pramono Wibowo, memang sejak awal hadirnya produk pertalite untuk sasaran kaum masyarakat menengah, dan beban pajak behan bakar jenis itu tinggi. Sehingga harga pertalite di Riau tergolong paling tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
“Pertalite itu termasuk jenis bahan bakar umum yang harganya tidak diatur langsung oleh pemerintah, tapi melalui badan usaha dalam hal ini Pertamina. Karena badan usahablain juga punya jenis produknya masing-masing,” ujarnya dalam sebuah sesi wawancara dengan bertuahpos.com.
Untuk jenis BBM umum harganya sangat terpengaruh pada pergerakan harga minyak dunia. Karena tak ada subsidi, dan bisa disesuaikan setiap saat. Pada saat pertalite dihadirkan oleh Pertamina sasarannya adalah segmen masyarakat menengah. Pada saat uji pasar pertama sudah diprediksi bahwa produk ini akan banyak konsumsi masyarakat.Â
“Sehingga kami mengusahakan bahsa harga pertalite itu tidak ada disparitas (jarak harga) yang cukup tinggi. Dan memang jika pajak bahan bakar kendaraan bermotor (BBKB) sama di setiap daerah, maka harganya sudah pasti sama,” ujar Pramono.Â
Namun dalam realisasi, bahwa setiap daerah malah menetapkan BBKB yang berbeda. Ada 5%, 7,5% dan 10%. Di Riau sendiri memberlakukan pajak BBKB sampai 10%. Inilah menjadi terdapak terhadap strategi penetapan harga pertalite di masing-masing daerah. Dimana hampir seluruhnya adalah konsumen ritel.Â
“Atas dasar kondisi demikian kami membuat disparitas bertingkat kurang lebih jaraknya sekitar Rp200 per kategori pajak. Misal dari 5% ke 7,5% jaraknya harganya Rp200. Termasuk dari 7,5% ke 10% itu jarak harganya juga Rp200,” katanya.Â
Strategi demikian sengaja dilakukan untuk mengantisipasi masalah seperti yang dihadapi Riau soal pajak BBU saat ini. Supaya jika ada kenaikan harga, jaraknya tetap sama Rp200. Dalam kondisi harga minyak dunia tinggi, maka perlu dijaga pada disparitas sama.Â
“Tapi karena pajak BBKB-nya berbeda, maka terjadilah perbedaan harga dan masyarakat merasa begitu tinggi. Padahal jika dikaji hitungan memang disparitasnya hanya Rp200 saja,” sambung Pramono.Â
Selanjutnya, mengapa disparitas harga harus tetap dijaga?
“Soalnya, kalau harganya tetap naik kami mengkhawatirkan ada lonjakan pergeseran dari premium ke pertalite. Kalau pergeseran ini terlalu besar, maka respon penyedia BBM-nya juga mendadak, dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan,” sambungnya.Â
Dia menambahkan, saat ini Pertamina punya angka target serapan konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar umum. Kalau ada lonjakan diman (permintaan) yang tinggi, dikhawatirkan realisasi konsumsi masyarakat terhadap BBM tidak terbaca dan berimbas pada kelangkaan bahan bakar.Â
Memang diterima masyarakat adalah harga akhir, oleh sebab itu terlihat angka yang terlalu tinggi, misal untuk pertalite untuk di Riau saat ini berada diharga Rp8 ribu per liter. Harga ini sebenarnya sudah masuk dalam potongan pajak BBKB dan PPn. (bpc3)Â