BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Profesor Bagir Manan, Ketua Dewan Pers Indonesia dua periode, 2010-2013 dan 2013-2016 menyatakan, Pemilu jangan sampai membuat pers kehilangan martabat dan hanya menjadi alat propaganda. Karena, jika insan pers melanggar etika maka sesungguhnya dia sudah menghianati fungsi pers itu sendiri.
“Pers harus menjunjung tinggi etika, dia harus mengedepankan kepentingan publik. Misalnya pada Pilkada Serentak 2018, kepentingan publiklah yang harus dilindungi,” kata Bagir Manan dalam Konferensi Jurnalis Perempuan Indonesia yang diadakan di Padang, Rabu (7/2/2018).
Menjadi menarik apa yang dikatakan Bagir Manan, jika kita melihat situasi saat ini, di Riau secara khusus, yang dalam tahun 2018 akan melaksanakan pemilihan Gubernur, yang menyebabkan pers berada dalam pusaran dan kemudian beberapa media massa terseret propaganda, memuja muji calon tertentu dan ini terus digulirkan, memakai mulut para cendekiawan, akademisi hingga politisi yang koor menyakan betapa hebatnya salah seorang calon. Tentunya telah disetting oleh tim sukses mereka.
Lebih jauh lagi, pekerja pers yang menyebut dirinya wartawan, juga terseret jauh dalam pusaran Pilkada ini, dengan menjadi tim sukses calon tertentu. Melalui tangan merekalah digulirkan kepada media tempat mereka bekerja, berita-berita propaganda tersebut, tanpa pernah bertanya pada nurani mereka, apakah puja puji tepat atau melukai hati rakyat?
Jika kita lihat pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga harus menghormati kebinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar serta melakukan pengawasan.
Terseret dalam berita propaganda, bagaimana mungkin pers melaksanakan fungsinya? Pers pelan-pelan, melalui tangan wartawan yang menjelma tim sukses, terus menggerus nilai-nilai luhur pers, hingga wajah pers menjadi buram, compang-camping dan tak berbentuk.Â
Dengan dalih memberitakan kebenaran karena berdasarkan narasumber yang sah, wartawan semakin jauh terseret dan membawa serta media massa mereka hanyut dalam nilai-nilai komersialisasi atas nama uang dan berhenti berdetak untuk berpikir, apakah ini benar atau tidak, apakah calon tersebut memang berintegritas atau tidak. Kalau pun ada, hanya menjadi catatan kecil yang disimpan jauh dalam lubuk jiwa, tak pernah dilihat lagi hingga lama-lama mati, tiada`rasa.
Jika merunut kepada 9 elemen jurnalistik Bill Covach, sebetulnya sudah dijelaskan dengan gamblang bahwa jurnalisme itu mengejar kebenaran (truth), komitmen wartawan kepada masyarakat dan kepentingan publik, jurnalisme itu disiplin menjalankan verifikasi, independen terhadap sumber berita, harus menjadi pemantau kekuasaan, menyediakan forum bagi masyarakat, berusaha keras membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, menjaga agar berita proporsional dan mengutamakan hati nurani.
Tetapi bagaimana bisa berita propaganda akan berpihak kepada masyarakat, karena berita propaganda penuh aura keegoisan, menyanjung dan memuji tanpa batas calon yang akan maju, tanpa ada celah bahwa dia juga bisa salah. Terkadang bahkan sampai membawa nama Tuhan, bahwa sang pembayar berita propaganda adalah tokoh suci tanpa cela.Â
Bagaimana pula bisa independen jika yang ditulis melulu sanjungan-sanjungan yang mencoba mengelabui rakyat dengan memakai mulut orang lain tadi. Apalagi verifikasi kepada rakyat, apakah apa yang dikatakan sang penyanjung itu benar atau salah, karena media massa melalui tangan wartawannya telah membenarkan dan menyucikan para calon itu dengan puja puji tadi. Apalagi untuk proporsional dan mengutamakan hati nurani, tentunya jauh dari kemungkinan ada.Â
Bak makan buah simalakama, pers menjadi rumit menentukan sikap, bersorak tapi tak bersuara, bersuara tapi memihak. Apakah situasi ini harus dibiarkan begitu saja? Jawabnya tentu tidak, karena selalu ada harapan tentang cahaya dikegelapan sekalipun, selalu ada celah untuk bersinar dalam kepekatan sekali pun. Siapa yang harus melakukannya? tentu mereka yang peduli, mereka yang masih berhati nurani dan mereka yang tidak mengkhianati kode etiknya sendiri.
Berjuang tidak pernah selesai tetapi selalu akan terjadi, selalu akan ada. Maka dalam pusaran arus pilkada yang demikian kuat memukau wartawan dan media massa dengan uangnya, tentu diperlukan mereka yang matanya tak silau dan hatinya tak runtuh, hingga tidak terseret dalam pusaran tersebut. Percayalah, selalu ada akhir untuk sebuah perjuangan dan selalu ada kemenangan untuk sebuah kepedulian.***Luzi Diamanda