BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Pahlawan tanpa tanda jasa itu, adalah guru. Kalimat ini digagas pemerintah sebagai bentuk penghargaan kepada tenaga pendidik di Indonesia. Di zaman millenia, jangan heran kalau masih ada guru yang digaji Rp 400 ribu per bulan.
Jauh di pedalaman Kabupaten Inhil, Ibrahim Tarmizi masih abdikan dirinya sebagai seorang pendidik. Dari kesaksinya sebagai guru lintas generasi, membuktikan bahwa uang bukan segalanya. Untuk bergantung hidup dengan gaji dirasa sangat tidak mungkin. Namun darinya bisa dipelajari bahwa kekurangan materi itu bisa ditutupi dengan syukur.
Tahun 1982, dia honor di Polsek Teluk Pinang, Kecamatan Gaung Anak Serka, Inhil sebagai juru ketik untuk pemetaan wilayah kerja. Beberapa tahun bekerja, kemudian tergerak hatinya untuk menjadi seorang guru.
Tahun 1987 dia mulai memegang kapur tulis, memberi ceramah di hadapan murid, dan menghabiskan hari-hari dengan mendidik di sekolah Madrasah Ibtidaiyah, Desa Simpang Gauang dengan gaji Rp 15 ribu per bulan. Murid yang dia ajar, ketika itu pada usia kisaran 10 sampai 15 tahun.Â
“Kalau orang dulu itu sekolahnya di usia segitu,” ujarnya
Selama mengabdi di sekolah itu sebagai tenaga pendidik, akhirnya Ibrahim dapat jodoh yang tidak lain adalah muridnya sendiri.Â
Perjalanan hidup sebagai guru masih berlanjut. Ketika itu berdirilah sebuah Pondok Pesantren Tanjung Makmur, di Kecamatan Gaung Anak Serka, tahun1989. Dia mengabdikan diri sebagai pendidik di sini dengan gaji Rp 25 ribu per bulan.
Pondok ini pernah eksis di zamannya, sebab itu satu-satunya pendidikan agama yang cukup terkemuka ketika itu. Ada banyak para orang tua menghantarkan anaknya untuk dididik.
Tahun 1997 dia putuskan untuk rehat dengan aktifitas itu. Namun 1998, dia diminta untuk menjadi Kepala Sekolah di MTs Manabiul Ulum di Simpang Gaung.Â
Baru di tahun 2000 penghasilannya naik menjadi Rp 200 ribu dari semula. Ini sekolah swasta. Penghasilan guru tentu saja dihitung dari jumlah banyaknya murid.
Selang berjalan 10 tahun sejak tahun 2000 sampai 2010, upah sebagai Kepala Sekolah dan pengajar dia terima Rp 700 ribu perbulannya.Â
Namun itu tidak berlangsung lama. Tahun 2016, jumlah siswa sedikit, gajinya turun dari Rp 700 ribu per bulannya menjadi Rp 500 ribu per bulannya. Baru di tahun 2017 penghasilannya naik ke posisi semula Rp 700 per bulannya.
27 tahun mengabdi sebagai guru tidak membuat dirinya kaya bergelimang harta. Ini sebuah konsekuensi. Siapapun orangnya, jika ingin hidup dengan penghasilan besar, sebaiknya jangan jadi Guru. Apalagi honorer.Â
“Saya punya 3 anak. Anak pertama sudah serjana, anak kedua saya sebentar lagi serjana. Satu lagi, anak ketiga yang masih duduk di bangku SMA di Teluk Pinang. Semuanya saya hidupi dengan penghasilan saya itu,” kata pria kelahiran 1963 itu.
Bagi Ibrahim, yang paling membahagiakan dari semua itu, ketika dia berkunjung ke suatu tempat, selalu saja yang menyodorkan tangan untuk berjabat, kemudian berkata: Saya murid bapak. Sekarang saya sudah jadi polisi, atau anggota TNI, dan sebagainya.
Sepintas semua kenangan masa lalu ketika di kelas terulang dengan sendirinya. Terngiang bagaimana murid-muridnya itu duduk di kursi dengan melipat kedua tangan dan mendengarkan ceramah selama 2 jam mata pelajaran.Â
“Semua guru pasti merasakan itu. Apalagi jika muridnya berhasil. Kalau menghadapi murid yang nakal itu sudah biasa. Kalau ada guru yang tidak tahan dengan itu, sebaiknya mundur saja jadi tenaga pendidik,” ujarnya, sambil tertawa.
Dari ribuan murid yang sudah dia ajar, Ibrahim hanya bisa sebutkan beberapa saja yang dia ingat. Murid-muridnya itu kini sudah berhasil, mungkin ada juga yang gagal. Ada namanya Muhammad Fikri, sekarang pengusaha kontraktor Tekomsel di Jakarta. Ada Supian Rida anggota Polri di Kepri, Asmadi anggota DPRD Inhil, ada juga yang jadi ASN dan guru, ada juga bekerja di perbankan.
“Mereka berhasil bukan sepenuhnya karena saja. Tapi saya bangga menjadi bagian dalam hidup mereka, pernah berinteraksi dengan mereka, dan mereka pernah mendengarkan ilmu yang saya sampaikan waktu di sekolah dulu,” ujar Ibrahim.Â
Banyak orang bilang guru itu seperti lilin. Dia setuju dengan perumpamaan ini. Murid yang pertama sekali sekolah itu, ibarat masuk rumah tanpa listrik di malam hari. Gelap gulita, kemudia dia mencari lilin untuk mencari pintu keluar. Semakin lama dia terkurung, lilin semakin habis. Tapi setelah menemukan pintu keluar, lilinnya dimatikan. Nanti di saat kembali berada dalam kegelapan, dia akan kembali mencari lilin, walau itu adalah lilin yang lain.
Memasuki usia lebih setengah abad, tentunya kini Ibrahim sudah tidak muda lagi. Meski demikian, selalu ada anak muda mengetuk pintu rumahnya hanya untuk belajar ilmu agama.Â
“Bagi saya, ada 3 profesi mulia di dunia ini. Pertama Guru, yang membuat orang bodoh menjadi pintar. Kedua, Polisi, yang membuat orang jahat menjadi baik. Ketiga, dokter, yang bikin orang sakit menjadi sembuh,” sambungnya. “Terakhir, Selamat Hari Guru…” tutupnya sambil tersenyum. (bpc3)