BERTUAHPOS.COM Saat para pemilih mencoblos di bilik suara pada tanggal 9 Juli lalu, kebanyakan dari mereka pasti menyadari bahwa ini adalah pemilu yang berbeda dari sebelumnya.
Selama 16 tahun sejak reformasi, wajah-wajah di surat suara selalu didominasi para elit militer dan politik, tetapi kali ini berbeda.
Pemilu kali ini mempertemukan kandidat Joko Widodo—politisi yang jauh di luar lingkaran elit tersebut sehingga partai politik yang mendukungnya hampir tidak berperan dalam kegiatan kampanyenya.
Sebaliknya lawannya, mantan jendral Prabowo Subianto, pernah menjadi Pangkostrad dan Danjen Kopassus.
Ini kedua kalinya Prabowo masuk di surat suara dalam pemilu presiden dan kampanyenya didukung dana besar serta koalisi partai-partai politik yang menguasai 60% kursi di DPR.
Sejak masa kampanye dimulai, perbedaan yang sangat besar antara kedua kandidat kerap menjadi perbincangan yang sengit di antara anggota keluarga yang berbeda pilihan, membangkitkan minat publik ke politik, dan memecah rakyat ke pendukung dua kubu.
Tetapi tidak banyak yang meramalkan bahwa pada hari pemilu kedua kandidat akhirnya Klik menyatakan kemenangan.
Dikawal relawan
Sekarang Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempunyai tugas berat untuk menghitung hasil dari hampir setengah juta TPS di sekitar 8.000 pulau yang dipantau seluruh rakyat Indonesia.
Prosesnya dimulai di setiap TPS. Segera sesudah TPS ditutup, petugas TPS menghitung surat suara di depan semua warga yang mau melihat.
Di sebuah kawasan kelas menengah di Jakarta Selatan, saksi mata yang jeli langsung melihat kekeliruan.
Beberapa surat suara dinyatakan tidak sah karena dilubangi terlalu besar, padahal lubang yang memang terlihat seperti sobekan tersebut berada dalam satu kotak kandidat sesuai peraturan yang berlaku.
Untuk menjaga transparansi, KPU mengunggah formulir C1 yang menunjukkan hasil penghitungan dari semua TPS.
Tetapi setelah itu lebih sulit untuk memonitor jalannya penghitungan suara. Total suara dari beberapa TPS dijumlahkan di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan provinsi, sebelum jumlah suara nasional bisa diputuskan.
Tidak mau berserah pada proses yang ada, sebuah proyek ‘crowd-sourcing’ bernama kawalpemilu.org menggunakan sekitar 700 relawan untuk menjumlah angka-angka yang ada di formulir C1 di situs KPU, dan mengunggah hasilnya untuk bisa dipantau masyarakat.
Sejauh ini, situs tersebut sudah menghitung data dari 92% TPS, dan menurut data tersebut Jokowi unggul 53% dibanding Prabowo 47%.
Tetapi data KPU juga menimbulkan banyak pertanyaan tentang kemampuan TPS melakukan penghitungan maupun legitimasinya.
Kejanggalan
Beberapa formulir menunjukkan bahwa jumlah suara untuk kedua kandidat ditambah jumlah suara tidak sah tidak cocok, entah karena kesengajaan atau ketidakmahiran berhitung.
Di satu formulir bahkan terlihat tanda X untuk tempat yang kosong diubah menjadi angka delapan, memberikan pasangan Prabowo-Hatta 800 suara tambahan. Tim kampanye Prabowo-Hatta mengatakan itu hanya “kelalaian.â€
Lebih lagi, formulir-formulir C1 untuk kelurahan Ketapang Barat di Jawa Timur yang mewakili lebih dari 7.000 suara menunjukkan adanya 100% partisipasi dari daftar pemilih tetap dan semua suara memilih Prabowo.
Kejadian serupa terjadi di Papua dan Papua Barat, dimana banyak TPS juga melaporkan 100% partisipasi dan semua suara memilih Jokowi.
Proses yang rumit untuk menjamin legitimasi penghitungan suara di berbagai tingkat pemerintahan tersebut mendorong diizinkannya publikasi hasil hitung cepat.
Penghitungan hasil cepat adalah berdasarkan jumlah suara dari TPS tertentu yang sudah dipilih sebagai sampel yang mewakili kecenderungan pemilih. Artinya penyelenggara hitung cepat yang kredibel tidak akan memilih sampel hanya dari daerah pemilih kandidat tertentu.
Polemik hitung cepat
Dari pemilu-pemilu sebelumnya bisa dilihat bahwa beberapa organisasi bisa memprediksi hasil yang hampir sama persis dengan hasil resmi KPU. Dengan demikian hitung cepat sudah bertahun-tahun dianggap sebagai alat yang penting untuk mengawal secara independen proses penghitungan suara KPU.
Burhanuddin Muhtadi adalah direktur eksekutif salah satu penyelenggara hitung cepat Indikator Politik Indonesia. Hitung cepat dari Indikator, seperti sebagian besar kelompok survei lainnya, meramalkan Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2014.
Tetapi empat organisasi survei lainnya menunjukkan hasil yang berlawanan.
Saat Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengaudit para anggotanya berkaitan dengan hasil hitung cepat yang berbeda, badan survei yang meramalkan kemenangan Prabowo Klik tidak mau berpartisipasi.
Tim Prabowo berdalih bahwa Muhtadi dan organisasi quick count yang memenangkan Jokowi, dan bahkan beberapa anggota dewan etik Persepi, adalah terang-terangan pendukung Jokowi.
“Saya tidak melihat adanya konflik kepentingan,†kata Burhanuddin menjawab tuduhan bahwa dirinya tidak netral.
“Kalau quick count saya menunjukkan bahwa Prabowo unggul, tentu akan saya tunjukkan. Kalau saya korbankan obyektivitas saya untuk memenangkan pilihan pribadi sama saja bunuh diri. Orang mempercayai saya untuk data yang kredibel.â€
Lembaga survei yang meramalkan kemenangan Prabowo tidak dapat dihubungi untuk memberi komentar, tetapi satu dari antaranya, Puskaptis, memberi pernyataan yang mengajak semua penyelenggara hitung cepat untuk menandatangani pernyataan bahwa yang salah dalam penghitungan cepat 9 Juli siap dan harus dibubarkan.
Ketika rakyat Indonesia akhirnya mengetahui hasil resmi dari KPU pada 22 Juli kelak, kredibilitas banyak pihak bisa saja hilang atau diuji, demikian pula kekuatan demokrasi Indonesia.(BBC)