BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy melarang anak usia sekolah untuk nonton film G30S/PKI. Larangan menonton film garapan sutradara Arifin C. Noer itu, mengacu pada hasil sensor film G30S/PKI tidak boleh ditonton oleh anak-anak. Meski Muhadjir masih memberikan pengecualian bagi anak yang sudah duduk di kelas sembilan SMP.Â
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Riau punya pandangan sendiri. Menurut Ketua LPA Riau Esther Yuliani, memang tak mudah kiranya untuk pukul rata melarang atau pun mengizinkan anak menonton film tersebut. Pasalnya, anak adalah individu berusia 0 hingga sebelum 18 tahun. Individu berumur 4 tahun dan 17 tahun, walau sama-sama berusia anak, namun punya dinamika psikologis yang berbeda jauh satu sama lain. Kesiapan mereka untuk menonton suatu film pun berbeda satu dan lainnya.
“Tambahan lagi, film Pengkhianatan G30S/PKI berangkat dari kisah nyata tentang peristiwa sejarah. Dan tema historis tersebut memang sudah sepantasnya diketahui generasi muda,” katanya saat dihubungi bertuahpos.com, Jumat (29/9/2017). “Mari kita menepi sebentar dari sisi adegan film,” tambahnya.Â
Proses pembelajaran yang baik adalah yang memberikan rangsangan multiinderawi kepada anak. Pemanfaatan film sebagai kelengkapan kegiatan belajar, termasuk belajar sejarah, sesungguhnya sudah menjadi praktek jamak. Dan itu bagus.
Namun kegiatan belajar memang sepatutnya tidak hanya mengandalkan film. Apalagi riset (bukan pemikiran awam) menemukan bahwa pendekatan yang paling pas adalah kepada anak juga disodorkan teks tentang substansi yang sama dengan tema film.
Esther menyebut, teks bisa dimodifikasi menjadi narasi lisan yang sebobot. Teks, pemutaran film, dilanjutkan dengan ajakan pendidik kepada anak untuk mengekspresikan apa yang mereka pikirkan, dan ini acap kali terkesampingkan.Â
“Apa yang mereka rasakan. Serba aneka perasaan yang dialami anak saat menonton film dijadikan sebagai pintu masuk bagi pendidik untuk mengedukasi anak tentang bagaimana mengidentifikasi kaitan antara situasi, perasaan, dan cara mengelolanya,” ujarnya.Â
Dia menjelaskan, simpulkan nilai kesetiaan pada bangsa dan negara, keyakinan pada kebenaran dan keadilan, penghormatan akan jasa pahlawan, serta optimisme akan masa depan. Kemudian diakhiri dengan menggali ide anak tentang bagaimana mencegah terulangnya tragedi serupa. Begitu urutannya.Â
“Ingat, kearifan adalah produk dari kekuatan kognitif dan kepekaan afektif. Memang, membawa kejadian dan situasi masa silam ke masa kini boleh jadi bukan hal gampang. Pendidik, utamanya guru maupun orang tua, kudu memiliki wawasan juga agar bisa mendampingi anak meniti lintasan sejarah dengan tepat,” sambung Esther.Â
Selanjutnya, film yang bagus di tangan pendidik yang buruk, tak akan banyak faedahnya. Sebaliknya, film yang buruk di tangan pendidik yang baik, manfaatnya bagi anak justru bisa berlipat ganda.Â
“Dari situ kita bisa katakan, apakah anak menonton atau pun tidak menonton film Pengkhianatan G 30 S, lebih ditentukan oleh kesiapan pendidik dalam mendampingi anak. Kalau pendidik merasa gamang, ikuti suara hati. Tinggalkan, itu dalil hakiki.
Baca:Â
Film G30S/PKI Akan Tayang di TV, KPID Riau: Harus Disensor
Azaly Djohan: Tap MPRS yang Nyatakan PKI Sebagai Organisasi Terlarang Pernah Ingin Dicabut
Pemutaran Film G30S/PKI, Azaly Djohan: Sebagai Pengingat Kenapa PKI Dibubarkan
“Satu lagi yang tidak kalah penting, ayo, ajak anak berkaryawisata bersama ke Museum Jenderal Nasution, Museum Jenderal Yani, dan Monumen Kesaktian Pancasila. Biarkan anak menjadi sutradara di imajinasi mereka masing-masing tentang masa kelam itu,” sambungnya. (bpc3)