BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Panasnya terik matahari tak dihiraukan Nasir dan Yursal untuk melakukan rutinitas pekerjaannya. Pukulan demi pukulan dihantamkan, tak peduli seberapa tenaga dikeluarkan demi sesuap nasi, seiring dengan peluh yang menetes di wajahnya. Pemandangan itu terlihat pada Minggu 17 September 2017.
Yusral sedikit demi sedikit mengikis batu gunung di samping bendungan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Dengan menggunakan dua alat saling berfungsi. Palu besi seberat lima kilogram dan pemahat baja seberat satu kilogram.
Kedua alat itu saling berfungsi seperti semestinya, jika salah satu bagian alat tidak ada maka sulit untuk mendapatkan batu gunung. Nasir  bersama teman-temannya sudah hampir tiga tahun menggeluti pekerjaan mencari batu gunung ini.
Banyak hiruk pikuk yang dialaminya. Pernah pemerintah melarang pekerjaan mereka karena dianggap ilegal namun apalah Nasir beserta kawan-kawan masih tetap bersikeras untuk tetap bekerja, mereka tahu pekerjaan ini salah, namun hanya ini yang mereka miliki.
BACA JUGA:
Kuliah Sambil Kerja, Juan Pranata: Tidak Mau Menambah Beban Orang Tua
Syamsuar: Kami Mendengar Suara Masyarakat untuk Perubahan
Ribuan Calon CPNS Kemenkum HAM Riau Tingkat SLTA Lakukan Tes Tinggi Badan
“Jika kami diberi kebun untuk bertani kami akan meninggalkan pekerjaan ini,†ucap Nasir.
Nasir berasal dari Kuok, Bangkinang Barat. Dia memiliki tiga orang anak yang masih duduk dibangku sekolah, anak pertama duduk dibangku SMK, anak kedua SMP, dan yang terakhir duduk dibangku Sekolah Dasar SD.Â
Dia harus menghidupi ketiga orang anaknya itu. Sudah sekian kali Nasir dan kawan-kawannya diliput oleh media lokal karena pekerjaannya, tentang pemerintah melarang mereka bekerja.
“Seperti apapun pemerintah melarang kami, kami tetap bekerja di sini karena cuma ini satu-satunya pekerjaan kami,†tegas Nasir.
pekerjaan Nasir dan kawan-kawannya sungguh berat. Tantangannya nyawa, apa jadinya jika batu gunung itu longsor menimpa mereka. Rasa penat dan letih sudah biasa demi sesuap nasi dan menghidupi istri dan anak-anaknya di rumah.
“Sekarang pelanggan semakin sepi, tidak banyak lagi yang memesan batu padanya, harga perkubiknya dijual Rp 100 ribu. Kadang laku perhari. Kadang laku perbulan,†katanya.
Batu tersebut digunakan masyarakat untuk membangun pondasi rumah, membuat jalan ke arah kebun sawit dan banyak bangunan lainnya.
Yuni salah seorang warga yang tinggal di kawasan itu takut kalau lereng bukit itu longsor. “Saya khawatir jika hujan deras akan terjadi longsor dan membuat jalan rusak nantinya. Kami merasa was-was mendirikan rumah di sini tanpa disadari takut terjadi longsor, mereka sempat dilarang oleh pemerintah namun masih tetap bekerja disana,†pungkasnya. (mg2)
Foto: Pemecah batu alam di Kampar/mg2