BERTUAHPOS.COM Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (18/6) malam menyepakati Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014. Rapat paripurna itu sekaligus mengesahkan RUU Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN 2014.
Dalam APBNP 2014 terdapat berbagai perubahan asumsi dan anggaran dari APBN 2014. Sejumlah asumsi yang ditetapkan antara lain pertumbuhan ekonomi 5,5%, inflasi 5,3%, SPN 3 bulan 6%, nilai tukar rupiah Rp 11.600 per dolar AS. Sedangkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 105, lifting minyak 818 ribu barel per hari dan lifting gas 1.224 ribu barel setara minyak per hari.
Penerimaan negara disepakati sebesar Rp 1.635,37 triliun yang terdiri atas pendapatan dalam negeri Rp 1.633,05 triliun dan penerimaan hibah sebesar Rp 2,32 triliun.
Penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.246,10 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 386,94 triliun. Belanja negara disepakati sebesar Rp 1.876,87 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 1.280,36 triliun dan transfer ke daerah Rp 596,50 triliun. Belanja modal sebesar Rp 151 triliun, belanja pegawai Rp 263 triliun, dan belanja barang Rp 153 triliun.
Alokasi untuk belanja subsidi senilai Rp 403,05 triliun. Khusus subsidi energi sebesar Rp 350,30 triliun, yang terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM), liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp 246,49 triliun serta subsidi listrik Rp 103,81 triliun. Sedangkan subsidi non-energi mencapai Rp 52,7 triliun.
Rapat paripurna DPR juga mengesahkan defisit 2,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 241,49 triliun. Angka ini lebih rendah dibanding Rancangan APBNP sebesar 2,5% dari PDB atau Rp 251,72 triliun. Sedangkan pemotongan anggaran menjadi Rp 43,25 triliun di APBNP atau lebih rendah 56% dari hasil panja belanja berupa pemotongan anggaran dari Rp 100 triliun di Rancangan APBNP.
Sejumlah kalangan ekonom menilai APBNP 2014 tersebut merupakan bencana fiskal atau fiscal disaster di tahun politik. APBNP dinilai tidak memberikan kesan kurang sehat, kurang kredibel, kurang sustainable, dan tidak mendukung pertumbuham ekonomi serta pemerataan pendapatan. Di saat perekonomian nasional membutuhkan stimulus fiskal, ternyata APBN justru dipangkas karena melonjaknya subsidi energi dan listrik.
Dengan belanja modal yang dipangkas dari Rp 184,2 triliun dalam APBN menjadi Rp 151 triliun dalam APBNP, pemerintah sedikit kekurangan tenaga untuk menggerakkan perekonomian. APBN tidak sustainable dan kurang memiliki daya dorong terhadap perekonomian karena defisitnya membesar. Di samping itu, pencairan anggaran (disbursement) selalu menjadi masalah. Setiap tahun ada 10% belanja modal tidak terserap.
Pemerintah harus mencari cara agar anggaran yang telah disetujui oleh parlemen tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini yang ditargetkan sebesar 5,5% dalam APBNP. Upaya tersebut, misalnya, pembangunan proyek-proyek yang sudah berjalan jangan sampai terganggu, apalagi dihentikan.
Yang boleh dihentikan adalah proyek-proyek yang belum berjalan atau yang penyerapan anggarannya susah. Kondisi ini harus menjadi fokus perhatian pemerintah karena terkait pemangkasan belanja kementerian dan lembaga dalam APBNP.
Membesarnya anggaran untuk subsidi energi –dari Rp 282,1 triliun dalam APBN menjadi Rp 350,30 triliun dalam APBNP—memang tidak bisa dielakkan. Ini akibat masih tingginya impor minyak dan hasil minyak di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, yang kemudian asumsinya diubah menjadi Rp 11.700 per dolar AS dalam APBNP dari Rp 10.500 per dolar AS dalam APBN.
Dari sisi penerimaan, semestinya pemerintah tidak menurunkan penerimaan negara dalam APBNP menjadi Rp 1.635,37 triliun dari Rp 1.667,1 triliun dalam APBN. Jika pemerintah mau bekerja keras, masih banyak potensi pajak yang bisa digali untuk menambah penerimaan dan menambal defisit anggaran. Potensi pajak sekitar Rp 360 triliun atau 4% dari PDB masih bisa digali jika pemerintah mampu menaikkan tax ratio menjadi sekitar 14-16% dari saat ini 12% dari PDB. Bahkan sejumlah negara bisa mencapai tax ratio sekitar 18-19%.
Potensi penerimaan negara juga bisa digali dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Royalti pertambangan dan migas yang masih rendah bisa digenjot untuk menambah PNBP. Pemerintah harus membenahi sektor pertambangan dan migas agar penerimaan negara terus meningkat dari sektor ini. Dibutuhkan pengawasan yang ketat agar penerimaan dari sektor ini tidak menguap.
Selain penerimaan, kebocoran APBN juga terjadi pada pengeluaran. Di samping biaya proyek yang digelembungkan, kebocoran belanja APBN terjadi di berbagai kementerian, lembaga, dan pemda. Jika kebocoran bisa diturunkan, defisit APBN bisa ditekan dan belanja modal bisa ditambah.
Pemerintah harus bekerja keras untuk mencegah terjadinya bencana fiskal di tahun pemilu dengan memaksimalkan penerimaan serta mengurangi kebocoran pada sisi penerimaan dan pengeluaran. Pemerintah masih punya waktu untuk membuat APBN lebih berkualitas, memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pemerataan.(investordaily)