BERTUAHPOS.COM (BPC)- Meskipun baru dua bulan RUU Perkelapasawitan ditetapkan sebagai RUU prioritas 2017, ternyata DPR RI pro aktif membahas RUU Perkelapasawitan. Merujuk pada laman www.dpr.go.id, pembahasan terakhir di Badan Legislasi DPR-RI terhadap RUU Perkelapasawitan adalah dalam tahap harmonisasi.
Daniel Johan, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, Komisi yang mengusulkan RUU Perkelapasawitan menyatakan ada 3 (tiga) alasan utama pentingnya RUU Perkelapasawitan ini, yakni: 1) Di bidang sosial ekonomi, ingin memastikan kesejahteraan petani. Karena dalam RUU ini memprioritaskan PMDN. Sehingga ada serangkaian, insentif agar kelapa sawit menjadi maju; 2) Meningkatkan profesionalitas seluruh sektor di kelapa sawit, dari hulu hingga hilir; 3) Di bidang Hukum, agar RUU Perkelapasawitan ini jadi jalan keluar terhadap carut marutnya perizinan, sehingga memberikan jalan keluar khusus bagi perkebunan illegal. Seperti misalnya perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan atau beroperasi tanpa HGU.
Perkebunan kelapa sawit, di satu sisi memiliki manfaat secara nasional, misalnya sebagai komoditas paling produktif diantara komoditas lain; menyerap banyak tenaga kerja, serta menjadi komoditas andalan nasional. Namun, di lain hal, perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial atau lingkungan. Dari luas areal perkebunan kelapa sawit 11,4 juta hektar persegi (BPS, 2015), Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha dan konflik perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25%); sengketa non lahan sebanyak 185 kasus (25,05%); dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2%). Di tengah keadaan maraknya konflik lahan tersebut, kehadiran RUU Perkelapasawitan yang akan me-legal-kan perkebunan illegal sungguh tak masuk di nalar.
Berkaitan dengan pembahasan RUU Perkelapasawitan ini, kami memandang terdapat beberapa hal penting yang perlu dicermati. Pertama, mengenai kesejahteraan petani khususnya pekebun mandiri, uraian Pasal demi pasal yang ada tidak mencerminkan apa yang disampaikan Komisi IV DPR RI. Pasal yang menyebut atau mengatur secara khusus tentang petani atau yang disebut sebagai pekebun hanya ada di pasal 29, yang menyebutkan beberapa kemudahan akses lahan bagi pekebun. Hal itu pun masih perlu diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), sehingga operasionalisasinya akan sangat bergantung pada kapan pembentukan PP dilakukan. Pasal lain yang menyebutkan tentang pekebun, hanya membahas tentang kemitraan dengan perusahaan perkebunan. Proses dan tata cara mensejahterakan petani ternyata hanya menjadi “janji†yang mungkin susah terealisasi.
Kedua, bertolak belakang dengan perlakuan kepada pekebun, RUU Perkelapasawitan ini memberikan perlakuan istimewa terhadap perusahaan perkebunan. Hal mana dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (4), beberapa privilege yang diberikan diantaranya: 1) pengurangan pajak penghasilan badan melalui pengurangan penghasilan bersih sampai jumlah tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; 2) pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; 3) pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; 4) pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; 5) keringanan pajak bumi dan bangunan, khususnya pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu; dan 6) bantuan pemasaran produk melalui lembaga atau instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga, patut dipertanyakan motif dari Komisi IV DPR RI, apakah benar-benar ingin mensejahterakan petani, atau hanya memfasilitasi perusahaan-perusahaan perkebunan illegal yang beroperasi tanpa izin atau bahkan merambah hutan menjadi perusahaan yang legal.
Ketiga, RUU Perkelapasawitan nampak sekali dijadikan instrumen memutihkan keterlanjuran atau memberi celah perusahaan-perusahaan untuk dapat beroperasi di areal gambut, hal mana terlihat pada Pasal 23 RUU tersebut. Ini merupakan perlawanan terhadap upaya Negara dalam melindungi ekosistem gambut, yang juga menegasikan keberadaan PP No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP Perlindungan gambut menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu. Namun, hal ini takkan berlaku manakala RUU Perkelapasawitan disahkan menjadi Undang-undang. Pemulihan gambut yang ditargetkan Jokowi mencapai 2,4 juta hektar pun takkan terwujud.
Keempat, jika mengacu pada data Ditjenbun Kementerian Pertanian, niat dari legislator untuk me-legal-kan perkebunan sawit yang saat ini illegal karena berada di kawasan hutan atau di areal lahan gambut, serta mungkin terdapat sengketa areal dengan warga setempat, maka inisiatif ini justru akan memperuncing masalah-masalah yang ada. Konflik lahan dengan masyarakat lokal justru akan semakin meningkat, Negara menjadi pihak yang merestuinya melalui RUU Perkelapasawitan.
Selanjutnya, mengenai isu kebun kelapa sawit yang berkelanjutan pun patut dipertanyakan dari keberadaan RUU Perkelapasawitan ini. Karena pada Pasal 78 RUU Perkelapasawitan ingin mewajibkan adanya sertifikasi bagi usaha perkebunan, dengan cara bertahap selama 5 tahun ke depan. Padahal, alat sertifikasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yakni ISPO telah melakukan sertifikasi sejak lama dan s/d Desember 2016 sudah ada 226 perusahaan sawit menerima sertifikat ISPO dengan luas 1.430.105,31 juta ha dan produksi CPO 6.746.321,93 juta ton. Saat ini ada sekitar 600 perusahaan yang sedang proses audit oleh Lembaga Sertifikasi ISPO. Maka, jika RUU Perkelapasawitan ini disahkan akan menghambat proses sertifikasi yang telah berlangsung.
Hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah, guna meminimalisir resiko atau konflik yang kerap terjadi di perkebunan kelapa sawit, seharusnya RUU Perkelapasawitan dapat mengadopsi uji tuntas hak asasi manusia, sebagai satu bentuk implementasi dari pilar “Penghormatan†dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights. Proses Uji tuntas Hak Asasi Manusia setidaknya harus mencakup: (a) penilaian terhadap dampak yang ada dan berpotensi ada; (b)mengintegrasikan agar seluruh personel perusahaan sadar atas dampak tersebut; (c) mengambil langkah yang diperlukan terhadap dampak yang ditemukan; (d) menilai apakah langkah yang diambil telah sesuai dengan dampak; dan (e) mengkomunikasikan bagaimana dampak telah ditanggulangi.
Â
Ada beberapa peluang HRDD yang bisa diterapkan di RUU Perkelapasawitan, secara mandatory, pelaksanaan audit HAM dapat dilakukan sebagai syarat izin usaha, di mana syarat penghormatan HAM bisa dijadikan syarat mendapatkan izin usaha. Â Secara voluntary, adopsi pelaksanaan audit HAM melalui mekanisme pemberian insentif penanaman modal dan dukungan ekspor. Jadi misalnya, dengan adanya hasil laporan uji tuntas HAM tersebut maka dukungan atau insentif bisa diberikan. Terakhir, mekanisme disclosure (pelaporan). Hal mana pelaksanaan uji tuntas HAM dimasukkan dalam mekanisme disclosure produk kepada konsumen.
Jika dibaca keseluruhan, sebenarnya hampir tidak ada norma baru yang ditawarkan dalam RUU tersebut – apalagi yang ditujukan untuk menjawab persoalan perkelapasawitan yang ada saat ini. Lebih banyak aturan-aturan tersebut justru akhirnya mengaburkan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini. Selain hal substantif sebagaimana diuraikan di atas, hal lain yang patut menjadi catatan bagi DPR RI adalah minimnya keterlibatan publik dalam proses pembahasan RUU Perkelapasawitan. Bahkan, instansi pemerintah terkait menyatakan bahwa Kementerian Pertanian sebagai pelaku teknis tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU Perkelapasawitan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, kami berpendapat usaha untuk memperbaiki legalitas dan mengonsolidasikan regulasi terkait perkebunan sawit hanya menjadi retorika semata. Keberadaan RUU Perkelapasawitan justru membuat regulasi ini makin carut marut, karena RUU ini melegalkan tindakan pelanggar hukum di areal gambut. Usaha memperbaiki carut marut perizinan perkebunan kelapasawit-pun tidak akan dapat dilakukan karena kompleksnya permasalahan yang terjadi dalam sektor perkebunan kelapa sawit, dan banyaknya regulasi terkait sektor perkebunan, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Pokok Agraria. Oleh karenanya, kami mendesak:
Komisi IV DPR RI harus menjadikan kesejahteraan petani (pekebun) sebagai target sasaran dari pembangunan perkebunan kelapa sawit. Apabila target sasaran pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah perusahaan-perusahaan illegal dan perambah hutan, maka Badan Legislasi DPR RI harus menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan. Pemerintah sebagai pihak yang juga akan membahas RUU Perkelapasawitan ini dengan DPR-RI, harus menyatakan penolakannya atas inisiatif dilanjutkannya pembahasan RUU Perkelapasawitan. (Rilis)