BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Banyak jenis pengawetan yang dilakukan dalam dunia biologi, diantaranya pengawetan jenis serangga atau yang disebut insectarium.
Bagi orang awam, kata-kata insectarium merupakan hal yang asing, tapi tidak dengan orang-orang yang berkecimpung di dunia biologi. Seperti yang dituturkan oleh Depimei Nita Mahendra salah satu mahasiswi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Riau (UR), insectarium sering menampilkan berbagai jenis serangga dan anthropoda yang mirip, seperti laba-laba, semut, kaki seribu, kalajengking, belalang ataupun kupu-kupu.
Didalam ilmu biologi, insectarium sudah termasuk kedalam salah satu mata perkuliahan “Tujuannya untuk mengetahui cara mengawetkan spesies serangga dengan cara mengeringkan,” tutur Depimei Nita Mahendra atau yang sering disapa Depi.
Selain itu, mahasiswi asli Pekanbaru ini juga mengatakan, tujuan pembelajaran insectarium juga sebagai materi pembanding identifikasi untuk membantu program pengelolaan organisme pengganggu tumbuhan.
Namun apakah penangkapan serangga guna untuk dipelajari yang kemudian dikeringkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem? Hal ini disanggah oleh mahasiswi yang juga aktif di dunia Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ini.
“Anggapan beberapa orang jika penangkapan serangga untuk dikeringkan akan merusak ekosistem, tidak sepenuhnya benar. Dilihat dulu tujuannya apa? Karena jika tujuannya sebagai pembelajaran jadi penangkapannya pun hanya sekedar saja, tidak sampai mengganggu ekosistem. Kecuali ditangkap secara berlebihan yang biasanya dilakukan orang-orang penjual hiasan dinding dan tidak mempertimbangakan keadaan habitatnya, itu baru menyebabkan terganggunya ekosistem,” tutup Depimei Nita Mahendra.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ridho Sapna, selaku Ketua BEM FKIP UR dan juga mahasiswa pendidikan biologi,insectarium atau pengawetan serangga tidak akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Hal ini dikarenakan serangga memiliki reproduksi yang tinggi. “Tapi dilihat dulu seranggnya, kalau langkah seperti kupu-kupu, tentunya tidak menggunakan jenis yang hampir punah,” tutur Ridho Sapna.
Penulis: Teguh Asrin