BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Memasuki tahun 2017, masyarakat Riau, dalam hal civil society dan aktivis lingkungan, telah menata pola perjuangan yang lebih prosedural dan sistematis.
Menurut Pengamat Lingkungan Provinsi Riau, Elviriadi, setidaknya ada empat faktor yang memudahkan penataan gerakan publik tersebut. “Pertama, perubahan iklim leadership di Kementerian LHK yang kalau dulu dulu pro peng-exploitasi-an hutan, tapi rezim sekarang relatif mendukung ruang kelola rakyat,” katanya kepada bertuahpos.com, Selasa (03/01/2017).
Seolah gayung bersambut, dengan aspirasi masyarakat sekitar hutan di Indonesia yang digusur perusahaan besar di Sumatera dan Kalimantan selama ini. Program perhutanan sosial ( social forestry) yang diterobos Menteri LHK harus disambut Pemprov Riau, para NGO, dan lembaga adat. Di Bengkulu, melalui Akar Foundation, sudah ada 23 desa yang diselamatkan melalui perhutanan sosial ini. “Mengapa Riau nihil?” sambungnya.
Kedua, publik dengan memanfaatkan era IT, sosial media mudah merangkul berbagai kalangan sehingga perlawanan publik cepat membesar. Misalnya Koalisi Rakyat Riau (KRR), yang berhasil menunda pengesahan RTRW, itu kuat dugaan sarat kepentingan cukong penjarah hutan.
Elviriadi menambahkan, poin Ketiga, kerusakan alam yang menyebabkan kerugian materil dan immateril seperti Karhutla dan banjir membuat publik muak dengan sandiwara politik yang memunculkan emosi perlawanan rakyat berkobar.
Selanjutnya, adanya expose ke media temuan Pansus perizinan dan monitoring DPRD Riau dengan sebagai pioner menemukan adanya 33 perusahaan bermasalah di Riau, termasuk kerugian negara akibat pengemplangan pajak. Bahkan KLHK menemukan 127 perusahaan sawit beroperasi tanpa pelepasan kawasan. “Nah, publik menerima dukungan data dari elit pemerintahan itu sendiri, dan dalam tataran tertentu bisa berkolaborasi,” tambahnya.
“Tapi harus diingat, masyarakat juga diberi kado pahit SP3 belasan perusahaan di tahun 2016. Secara simbolik, para penjarah ekosistem di Riau masih kokoh berdiri. Kenyataan itu terjadi karena pemerintah belum menyiapkan seperangkat kebijakan untuk mengakhiri pemusnahan ekologi dan masyarakat lokal. Penguasa perlu dana dari pengusaha, dan itu tantangan terberat perlawanan publik yang mulai rapi itu.” ungkap dosen Fapertapet UIN Suska Riau itu.
Penulis: Melba Ferry Fadly