BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Jatuh bangun dalam membangun usaha tentunya bukan sebuah cerita yang tabu untuk didengar. Namun yang perlu diyakini adalah, hasil yang diperoleh akan setimpal dengan usaha dan kesabaran dalam menghadapi kegagalan. Pria bernama Syafrizal Abdul Rasyid ini, banyak bejalar dari kehidupannya dalam mengembangkan bisnis.
Terakhir usahanya yang dia geluti adalah ternak ayam, pada tahun 2006 lalu. Mungkin pintu rezekinya bukan pada usaha bidang ini. Usaha ternak ayamnya bangkrut dengan hutang dimana-mana. Bangkrutnya usaha ternak ayam Syafrizal, adalah usahanya yang ke 18 kali mengalami kebangkrutan.
“Sebelumnya saya pernah jual sembako. Pokoknya banyaklah. Hampir semuanya sudah pernah saya coba. Tapi gagal terus,” ujarnya saat bercerita kepada bertuahpos.com, dikediamannya, sebuah ruko lantai dua di Jalan Bukit Barisan Pekanbaru.
Ketika itu, sebentar lagi momentum lebaran Idul Fitri. Di tengah orang lain sedang bersuka ria membeli baju lebaran dan belanjaan lain, Syafrizal harus memutar otak bagaimana dia bisa pulang ke kampung istrinya di Sumatra Utara. Kabar tentang kegagalan itu memang sempat dia utarakan ke ayah mertuanya. Sebab tidak ada tempat lain untuk dia berbagi cerita.
“Ayah saya bilang, carilah ongkos untuk pulang ke sini. Nanti untuk pulang ke Pekanbaru, dia yang bantu,” ujarnya. Beruntung, disaat Syafrizal tengah jatuh, sang istri tetap setia mendampingi. Dengan sisa uang seadanya, dia tidak putus asa. Sang istri diajak berdiskusi untuk menemukan cara, bagaimana supaya bisa kembali mendapatkan uang untuk ongkos pulang kampung.
“Kebetulan istri saya pandai buat kue untuk lebaran. Jadi dengan sisa uang yang ada, kami sepakat untuk jual kue kering untuk lebaran,” sambungnya.
Setelah kue kering hasil olahan sang istri selesai, Syafrizal turun keluar rumah, mendatangi setiap rekan dan sahabatnya, untuk mencicip dan membeli kue kering lebaran buatan istrinya. “Saya datangi satu persatu setiap teman-teman saya. Saya tidak berharap kue ini enak dan mereka mau beli. Tapi tetap saya tawarkan ke mereka dengan menceritakan kondisi saya saat itu bagaimana. Teman-teman saya banyak yang mendukung. Artinya mereka beli kue kering itu. Mungkin dengan rasa kasihan,” sambungnya.
Seingat Syafrizal, ketika itu masih ada waktu selama tiga Minggu sebelum lebaran. Pasarannya hanya dari mulut ke mulut saja. Para tetangga dari teman-temannya pun tertarik untuk membeli kue buatan istrinya. Sembari dia terus melakukan pemasaran, sang istri tetap bergelut dengan tepung dan oven untuk memenuhi pesanan pelanggan.
Singkat cerita, waktu untuk pulang kampung sudah tiba, setelah dihitung-hitung. Dari modal seadanya awal mereka membuka usaha itu, ternyata Tuhan berkata lain. Diluar modal, Syafrizal berhasil meraup untung sebesar Rp17 juta. Rencana pulang kampung mereka bisa berlangsung dengan senyuman, termasuk saat menghadapi lebaran Idul Fitri. “Ayah saya tidak jadi bantu ongkos pulang,” sambungnya.
Dari pengalaman setelah bangkrut belasan kali, semangat Syafrizal untuk bangkit memulai usaha kembali muncul. Dia berfikir mungkin dengan menjual kue kering bisa membuat perekonomian keluarganya kembali membaik. Sejak itu dia mulai membuka usaha kue kering untuk lebaran dengan label Kampoeng Cookies.
“Awal muncul merek itu sederhana. Kalau sudah mau lebaran semua orang pasti ingat kampung-kan. Makanya kami beri nama Kampung Cookies,” ujarnya sambil tertawa.
Dari 18 kali gagal dalam menjalankan usaha, ada banyak pelajaran yang bisa dia ambil untuk melanjutkan usahanya yang baru. Yang terpenting adalah kesabaran. Setiap orang untuk mendaki puncak, tentunya harus melewati jalan terjal dan tebing yang curam. Berat memang, tapi setelah berada di tempat tujuan, baru semuanya terasa bahwa cobaan dan rintangan yang sudah dilalui begitu indah.
10 tahun berjalan, usaha kue kering Syafrizal semakin membaik. Tiga bulan sebelum lebaran tiba, dia dan sejumlah karyawannya sudah mulai bekerja untuk membuat kue. Kue kering hasil produksi Kampoeng Cookies sudah merata mengambil pasar disetiap Kabupaten yang ada di Riau. Sementara untuk pasar di luar provinsi Riau, produknya sudah menyebar ke Sumatra Barat dan Jambi. “Setiap lebaran kue saya selalu ikut memeriahkan suasana haru dihari Fitri,” ujar pria empat anak itu.
Tahun ke sembilan, tepatnya pada tahun 2015 lalu, dia kembali berfikir keras untuk mengembangkan usahanya. Mengingat jika hanya mengharapkan penghasilan dari Kampoeng Cookies, hanya setahun sekali saja. Selebihnya Syafrizal lebih banyak menganggur. Jiwa bisnis sudah tidak bisa dilepas dari kehidupannya. Setelah berdiskusi bersama istri dan orang terdekat, dia kembali membuka gembok satu usaha lagi. Yakni produksi roti yang diberi nama Rotte Bakery.
“Rotte itu singakatn dari Roti Terenak dan Termurah. Segmentasinya bisa masuk ke kalangan menengah ke bawah, juga kalangan menengah ke atas,” katanya.
Usaha Rotte Bakery sudah berjalan selama lebih kurang 1 tahun hingga saat ini, berjalan baik sesuai dengan harapan. Namun sejak awal untuk mendapatkan perhatian konsumen juga tidak mudah. Sebanyak 87 kali dia membuat roti, baru berani dia lempar ke pasar. Hal ini dia lakukan hanya karena masalah rasa saja. “Saya tidak mau sembarangan,” tambah Syafrizal.
Saat ini, dia punya 12 karyawan yang bekerja untuk membuat roti. Sistem yang dia berlakukan tidak dengan gaji Perbulan. Tapi dengan cara bagi hasil. Untuk karyawan baru, pendapatan rata-rata karyawannya yakni sebesar diatas Rp1 Juta. Sementara untuk karyawan yang lama, rata-rata penghasilannya sebulan bisa mencapai Rp6 juta.
“Tergantung penjualan. Kalau penjualannya bagus hasilnya kan banyak, pendapatan mereka juga bisa lebih tinggi lagi. Kami menerapkan sistem bagi hasil,” sambungnya.
Â
Penulis: Dilla