BERTUAHPOS.COM (BPC), SIAK – Rencana Pemerintah Kabupaten Siak yang akan melakukan pembersihan kawasan konservasi cagar biosfer tanggal 22 Maret selama 7 hari nanti dalam dalam bulan ini, satu persatu warga yang ada dikawasan tersebut mulai meninggalkan area tersebut.
Dalam hal ini Asisten I Setda Siak, Fauzi Azmi, sangat mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh warga yang telah bersedia meninggalkan kawasan tersebut. “Alhamdulillah, kami sangat berterimakasih kepada mereka yang sudah dengan sukarela keluar dari cagar biosfer itu. Mudah-mudahan yang lain mengikuti jejak mereka,†kata Fauzi.
Di mana pemerintah pusat sudah membuat target untuk mengosongkan kawasan cagar biosfer itu dari para penggarap. Dan akan ada operasi pengosongan. Sebelum waktu operasi dilakukan, sudah dua kali sosialisasi dan peringatan diberikan.
“Dalam waktu dekat akan dibikin lagi peringatan ketiga. Jika waktu operasi tiba, kami sangat berharap suasana kondusif. Sebab operasi ini bukan untuk menyusahkan rakyat. Tapi ini semata-mata demi penyelamatan cagar biosfer tadi. Imbasnya juga buat generasi kita ke depan. Sebab jika hutan terjaga, kelangsungan hidup juga akan seimbang,†ujarnya (11/3/2016)
Adapun pembersihan akan dilakukan dengan catatan tidak rumah ibadah tidak dibongkar, dimana terdapat 2 Musolah, 1 Gereja, sehingga operasi ini nantinya bersifat terbuka. Disisi lain Harianto cuma bisa pasrah saat bulan lalu dia mendapat kabar dari Penghulu Jati Baru Kecamatan Bunga Raya, Rokip, bahwa lahan satu hektar di
kampung Tapsel yang sudah dia tanami pohon kelapa sawit adalah kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. “Saya kaget waktu itu. Sebab saya ndak pernah tau kalau lahan yang saya garap itu hutan lindung,†kata lelaki 38 tahun ini di ujung telepon Kamis malam (10/3).
Dua tahun lalu kata ayah tiga anak ini, dia dapat kabar dari temannya sesama orang Kampung Sri Mersing bahwa ada lahan garapan di kawasan Jati Baru. Tak pikir panjang, dia langsung memutuskan ikut menggarap. Mumpung gratis. Hitung-hitung di situlah kelak nasib Harianto bisa berubah. Tak
lagi jadi buruh serabutan.
Setelah lahan bersih, dia bikin pula pondok di sana. “Saya bawa anak istri saya tinggal di situ. Saya beli bibit dan pupuk. Sekitar Rp 10 juta yang habis. Termasuk untuk membikin rumah. Duitnya dari tabungan saya yang selama ini kerja serabutan. Tapi setelah sawit saya tanam, banyak yang mati,†katanya.
Meski sudah mengeluarkan banyak duit, bulan lalu, semua harapan Harianto di lahan sawit yang baru dia bikin itu, dia kubur dalam-dalam. Dia memutuskan untuk kembali ke Sri Mersing. Pondok yang sempat dia bangun pun, dia bongkar lagi.
“Saya ndak mau bermasalah. Bagi saya menggarap hutan lindung itu sudah salah. Itu milik negara jadi harus kembali ke negara. Lebih baiklah saya kembali ke kampung dari pada kelak bermasalah. Soal duit yang sudah habis, ya habislah. Itu sudah resiko,†ujarnya. Dia mengaku sudah sejak 10 hari lalu berada di Sri Mersing.
Tak hanya Harianto yang berpikiran seperti itu. Masih ada enam kepala keluarga lagi. Empat diantaranya sekampung dengan Harianto. Mereka antara lain Bambang Hermanto, Kaya Pohan, Dirman Rambe dan Zainal Nasution. Dua lagi, Bayanuddin Siregar pindah ke Tuah Indrapura dan Cici Rianto pindah ke Buantan Lestari.
Harianto mengaku senang sejumlah masyarakat mengikuti jejaknya. “Harapan saya, lebih baik lahan itu ditinggalkan saja. Sebab itu tadi, lahan itu hutan lindung. “Tapi terserah saja. Masing-masing kan punya jalan pikiranbeda. Kalau saya lebih baik mocok-mocok (kerja serabutan) dari pada bermasalah. Insya allah merubah hidup bukan harus di lahan itu,†sebutnya. (Hms/Ely)