BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – 145 korban investasi berbasis lahan se-Indonesia menggelar pertemuan di Riau. Hasilnya, mereka meminta negara untuk berperan aktif menyelesaikan konflik yang muncul akibat dari keberadaan korporasi yang menjalankan investasi di Indonesia.
Masyarakat korban investasi berbasis lahan menggelar Temu Korban Investasi Berbasis Lahan Skala Besar di Indonesia pada akhir Februari lalu di Gedung PMI Pekanbaru Jl. Mekar Sari No. 2 Tangkerang Selatan.
Kegiatan ini diinisiasi oleh LSM dan Ormas yang terdiri dari Rumpun Perempuan dan Anak Riau (Rupari), Serikat Perempuan Indonesia (Seruni), Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan Link-AR Borneo.
Para korban investasi berbasis lahan itu datang dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Temu korban investasi bertema: Mendorong Tanggung Jawab Korporasi dan Negara atas Dampak Buruk Investasi Berbasis Lahan Skala Besar di Indonesia, itu menghasilkan kesimpulan dan rancangan resolusi terkait konflik lahan di Indonesia yaitu harus ada peran negara dan juga korporasi yang bertanggung jawab dalam penyelesaian-konflik-konflik.
Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Isnadi Esman mengutarakan, kita tidak anti investasi dan kemajuan, namun kita tidak mendukung investasi jahat yang melahirkan konflik berkepanjangan dimasyarakat, investasi harus berbuah manis dengan kesejahteraan rakyat bukan buah pahit berupa konflik dan kesengsaraan. “Konflik panjang ini menjadi tanggung jawab Negara dan korporasi untuk menyelesaikan,†katanya.
Dia menyatakan, perhatian pemerintah itu dapat dilakukan dengan: Pertama, menjalankan peran-peran penyelesaian konflik. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan berdiri dan berjalannya kelembagaan penyelesai konflik yang fokus. Lembaga itu harus bekerja dan memastikan konflik-konflik yang terjadi berakhir dengan penyelesaian yang tuntas dan menguntungkan masyarakat korban.
Selanjutnya masyarakat memastikan adanya aturan atau regulasi terkait penyelesaian konflik itu yang benar-benar berpihak ke masyarakat. Termasuk, dalam setiap tahap dan proses penyelesaiannya.
Sementara, lanjut Isnadi, peran korporasi itu diaktualisasikan dengan pandangan, kebijakan, penguatan nilai-nilai dan tindakan yang betul-betul menghormati hak-hak masyarakat.
Selain menghormati hak-hak masyarakat, juga harus menjalankan komitmen yang sudah perusahaan itu sendiri bangun dan janjikan terkait operasional mereka. Misalnya, di Grup Wilmar ada komitmen no deforestation (tiada pembabatan hutan, red), no peat (tidak di aera gambut, red), dan komitmen menghormati masyarakat. Sementara, di APP (Asia Pulp and Paper Group, red) ada FCP (Forest Conservation Policy) dan APRIL (Kelompok Usaha Riau Pulp and Paper, red) ada SFMP (Sustainable Forest Management Policy) 2.0.
“Kita lihat, semua kebijakan itu sebatas untuk kepentingan pasar mereka dan belum sepenuhnya berjalan,†ujar Isnadi mantap.
Korporasi harus mengakui dan menghormati hak masyarakat, keberadaan korporasi tidak hanya menjadi pemicu konflik seperti yang selama ini terjadi tapi harus berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat. (Melba/rls)