BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Disebuah rumah petak yang tidak terlalu besar. Ruangan itu kira-kita 4×3 meter. Di dinding yang menghadap ke pintu masuk, terpajang beberapa jenis obat-obatan. Itupun kemasannya sudah pudar, karena sudah lama tidak digunakan. Hanya ada satu tempat tidur pasien. Semuanya terlihat sangat sederhana. Disinilah tempat Nur Aisyah biasa mengobati pasiennya. Bangunan yang seharusnya menjadi rumah tempat dia beristirahat, harus disulap menjadi klinik sederhana dengan fasilitas sederhana.
( Baca : Ambruk Diterjang Banjir, Jembatan Besi di Desa Ini Tak Layak Dilewati)
“Harusnya disebelah. Tapi lihat sendirilah kondisinya bagaimana. Terpaksa rumah ini yang dimanfaatkan. Kami tidak minta banyak, perbaiki jalan. Itu saja. Rasanya sudah lelah berharap seperti itu ke pemerintah” katanya, saat bertuahpos.com bertandang ke Pusakesmas Pembantu (Pustu) di Desa Lubuk Bigau, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, akhir pekan lalu.
Selain masyarakat di Desa itu, Nur juga sudah lama mengeluh soal akses infrastuktur jalan yang jauh dari kata layak. Selain rawan kecelakaan bagi masyarakat yang melintas, harga obat yang harus dibayar masyarakat 2 kali lipat.
Dalam kondisi seperti ini, tidak satupun mobil ambulance bisa masuk untuk menjemput pasien. Satu-satunya cara, kata Nur, pasien harus digendong jika tetap ingin diujuk ke Puskesmas induk. Jaraknya tidak tanggung-tanggung. Lebih kurang 6 sampai 7 kilometer, dengan melewati jalanan terjal dan licin, dengan bebatuan di pinggir jurang, Bukit Barisan.
Alternatif lain, tempat rujukan terdekat yakni ke Payakumbuh, Sumatra Barat. Tapi tetap saja jarak tempuhnya jauh. Hampir 15 kilo, jika pasien ingin dirujuk ke sana. Karena kondisi itulah, seolah-olah masyarakat yang hidup di desa ini seperti tidak punya pemerintah.
( Baca : Secuil Kisah Dari Negeri yang Tenggelam)
“Walau masyarakat yang tinggal di sini jauh berada di tengah perbukitan, tapi mereka juga manusia. Mereka layak mendapatkan fasilitas kesehatan, yang sama dengan orang-orang di kota sana. Saya tak habis pikir, dengan kondisi seperti ini yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Dari cerita Nur, kondisi infrastuktur yang tidak memungkinkan, akhirnya berimbas pada perekonomian masyarakat. Mayoritas penduduk didesa ini menggantungkan perut mereka dengan memotong karet. Jangankan untuk beli obat, buat makan sehari-hari sangat susah.
Bertuahpos.com berkunjung ke kediaman salah satu warga, Arika. Jaraknya tidak jauh dari Pustu itu. Seorang pria paruh baya dengan kumis tebal, terlihat sulit untuk melepas senyumnya. “Bapak lagi sakit. Katanya usus buntu,” kata Arika.
Pihak petugas kesehatan sudah sejak lama menyuruh agar ayahnya bisa dibawa ke rumah sakit. Tapi mengingat kondisi jalan yang tidak memungkinkan, usus buntu yang diderita ayahnya terpaksa diolah sedemikian rupa, hanya dengan obat kampung. Walau agak kesakitan, orang tua dari 5 anak itu tetap berusaha melepas senyum menghantar kepulangan wartawan dari tempatnya.
Itu hanya sekelumit cerita menimpa warga yang sakit di Desa Lubuk Bigau. Sementara, kata Nur Aisyah, masih banyak warga dan para orang tua lain yang harus mendapatkan penanganan khusus di desa ini.
“Karena jalannya susah, penanganan pasien jadi lama. Ada banyak pasien di desa ini yang harus di rujuk ke rumah sakit. Tapi tidak bisa. Satu-satunya cara harus ditangani dengan obat seadanya,” tambah Nur.
Pustu ini ada di Desa Lubuh Bigau, sejak tahun 2007 lalu. Sejak musibah banjir yang melanda wilayah itu, pada malam 29 November 2015 lalu, angka kecelakaan semakin meningkat.
Dia menyebutkan, biasanya dalam sebulan rata-rata hanya satu warga yang datang ke Pustu untuk berobat karena jatuh dari kendaraan. Namun sejak musibah itu melanda, tidak kurang dari 3 sampai 4 orang harus dia tangani dalam sebulan.
Melihat realitas yang dirasakan oleh masyarakat di desa ini, maka sangat wajar rasanya mereka menuntut fasilitas infrastruktur yang layak. Walau jarak dari desa mereka ke provinsi tetangga, Sumatra Barat jauh lebih dekat, ketimbang ibu kota Kabupaten Kampar, warga di Desa Lubuk Bigau ini masih mantap hatinya menyebutkan bahwa mereka adalah masyarakat Riau.
Penulis: Melba