BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU– Saat ini ada banyak produk atau tempat jajanan yang mengklaim sudah memiliki sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun dengan kecanggihan teknologi, banyak konsumen yang meragukan logo halal yang tercantum asli atau palsu.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Riau, Dr Sofia Anita MSc mengatakan tahun 2016 ini pihaknya melakukan terobosan. Yakni dengan memberlakukan barcode sertifikasi halal. “Jadi memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini memang kita mengeluarkan barcode untuk setiap sertifikasi halal yang kita terbitkan, itu untuk memudahkan konsumen mengecek sertifikasi halal,” katanya kepada kru bertuahpos.com.
Sehingga konsumen bisa semakin yakin dengan adanya barcode tersebut. Sebab bisa langsung dicek apakah sertifikasinya halal atau palsu. “Konsumen hanya perlu menginstall aplikasi Cr code scanner di ponsel Android dan tinggal cek barcode yang tertera di tempat makan itu,” katanya, Rabu (13/01/2016).
Dijelaskan Sofia saat barcode di scan maka akan muncul informasi-informasi tentang sertifikat halal. “Jadi ada enam poin yang akan ditampilkan, nama usaha, pemilik, alamat, masa berlaku sertifikat halal, jenis produk, dan masa expired sertifikasi halalnya,” kata Sofia.
Saat ini LPPOM MUI Riau sudah menyerahkan tujuh barcode kepada pelaku usaha. “Seperti coffetoo itu ada (barcode) serta beberapa restauran dan hotel di Pekanbaru ada,” katanya.
Namun kendati ada banyak tempat kuliner di Ibu Kota Provinsi Riau kesadaran pemilik usaha mengurus sertifikasi halal masih rendah. Bahkan saat ini pihaknya masih belum menerima pengajuan untuk penerbitan sertifikasi halal di hotel dan restoran. “Sampai 2016 ini hanya perpanjangan yang kita terima, seperti dari Premiere Hotel dan Mona mereka komit mengurus perpanjangan izin. Kalau hotel lain masih banyak yang belum,†ujarnya.
Padahal kata Sofia pihaknya sudah mensosialisasikan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) UU JPH no 33 tahun 2014 telah disahkan semasa Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
“Tetapi kita sifatnya tidak bisa memaksa, hanya sukarela dari pemilik usaha. Yang kita harapkan dari Pemerintah Daerah (Pemda) yang menegaskan agar hotel dan restoran punya sertifikat halal,†kata Sofia.
Sofia menilai fenomena ini berbanding terbalik dengan luar negeri khususnya negara yang tergabung ASEAN. Saat MEA dibuka, pemilik usaha di luar negeri beramai-ramai urus sertifikasi halal. “Berbeda dengan Thailand, di sana pemerintahnya mendorong agar banyak yang ramai-ramai urus sertifikat halal padahal populasi muslim di sana 6 persen. Apalagi dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ini tentu muslim yang menjadi mayoritas market yang bagus,” tuturnya. (Riki)