BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Masyarakat Pulau Bengkalis dan Rokan Hilir, meminta pemerintah harus mereview dan mencabut perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI) lama yang belum berjalan operasionalnya terutama diwilayah gambut, hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik dimasyarakat serta Kebakaran Hutan dan Lahan penyebab asap dimasa mendatang.
Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), Isnadi Esman mengatakan, adanya perizinan HTI lama yang akan mulai beroperasi seperti di Pulau Bengkalis Kecamatan Bantan dan Kecamatan Kubu Babusalam Kabupaten Rokan Hilir yang mayoritas wilayah gambut itu sangat berpotensi memicu terjadinya konflik dimasyarakat.
“Di Riau konflik sosial dan sengketa lahan mayoritas bermuara dari perizinan HTI yang diberikan pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Kehutanan kepada pihak swasta. Situasi ini semakin parah dengan buruknya tata kelola sumber daya alam gambut di Riau. Penebangan hutan alam dan kanalisasi menjadi contoh kongkrit buruknya tata kelola yang berujung kepada bencana dan konflik,” katanya, Rabu (04/11/2015).
Dia menambahkan, konflik sosial dan sengketa lahan berada diwilayah gambut , dari 4,04 Juta hektare wilayah gambut di Riau tahun 2014 hanya tersisa kurang dari 1 Juta hektare, dan sayangnya wilayah gambut tersisa saat ini sebagian besar sudah dibebani izin baik HTI dan HGU hanya menunggu waktu untuk ditebangi hutan alamnya dan dibuat kanal-kanal yang akan mengeringkan gambut. Sedangkan sebagian lagi wilayah gambut tersisa adalah kawasan lindung, sehingga ketersediaan lahan dan ruang hidup masyarakat diwilayah gambut sangat terbatas, hal ini juga yang rentan menyebabkan konflik masyarakat.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Hutan Tanaman no. 262/kpts-II/1998 di Pulau Bengkalis Kecamatan Bantan yang dimiliki PT. Rimba Rokan Lestari (RRL) seluas 14.875 ha dan perizinan PT. Sumatera Riang Lestari (SRL)-APRIL GROUP di Kab. Rokan Hilir (Kec. Bangko, Bangko Pusako, Kubu Babusalam dan Bagan Sinembah) No. SK. 208/Menhut-II/2007 seluas 42.320 ha, berpotensi akan menebang hutan alam dan menggali kanal di gambut jika izinnya tidak direview dan dicabut.
Penolakan yang saat ini sedang dilakukan oleh masyarakat yang terdampak langsung dengan keberadaan perizinan tersebut cukup punya alasan kuat, masyarakat sadar bahwa wilayah desa, permukiman dan ruang kelola mereka berada didalam wilayah konsesi tersebut, sementara mereka berada diwilayah tersebut jauh sebelum perizinan tersebut diterbitkan.
Pemerintah pusat punya kewenangan penuh untuk mereview dan mencabut izin tersebut, hal ini harus juga didorong kuat oleh pemerintah daerah baik legislatif dan eksekutif. Konflik didaerah lain antara masyarakat dan pemegang izin HTI seperti di Pulau Padang, Pulau Rangsang dan Pulau Rupat cukup menjadi contoh dan hal mendasar untuk membatalkan izin HTI di Pulau Bengkalis Kecamatan Bantan dan di Kec. Kubu Babussalam Kab. Rohil.
Sudah ada regulasi kuat yang dapat dijadikan dasar oleh pemerintah untuk mencabut izin HTI di wilayah gambut, Keppres 32 Tahun 1990 tentang kawasan lindung gambut, UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta yang terbaru adalah PP 71/2014 yang hingga kini tidak mampu diterapkan oleh pemegang izin HTI dan HGU tentang bagaimana mengatur tinggi muka air dikanal yang harus 40 cm dari permukaan tanah. Tinggal bagaimana penegakan regulasi tersebut oleh pemerintah, dengan mengutamakan keberpihakan kepada masyarakat.
“Masyarakat terbukti mampu mengelola gambut dengan baik dan bijaksana, bertahun-tahun mereka tinggal disana dan memanfaatkan gambut sebagai sumber kehidupan mereka. Tinggal peran pemerintah yang harus hadir untuk memperkuat dan memberikan kepastian hak mereka dalam mengelola gambut secara arif dan berkelanjutan untuk kehidupan merek,” ujarnya. (Melba/rilis)