EKONOMI negara gonjang-ganjing. Dalam pagelaran wayang, ini bak gunungan wayang saat diangkat Ki Dalang ke angkasa. Kondisinya oleng dan bergetar kencang. Belum jelas akhir dari semuanya. Kembali bajeg (tegak), miring, atau justru rebah ke tanah. Nasib Jokowi?
Kurs dolar Amerika menggila. Terus fluktuatif bertengger di angka Rp 14 ribu. Ini dituding pangkal ‘gunungan’ goncang. Dan devaluasi Yuan China dianggap sebagai akar keresahan dunia. Situasi ini menyulut ketidak-pastian melingkupi segalanya.
Nilai tukar mata uang Amerika itu diprediksi masih akan menaik. Ada banyak pihak yang berasumsi, jika kurs ini menyentuh angka Rp 16 ribu Jokowi akan tumbang. Prosesinya bisa lewat demo rakyat yang kemarin marak di Malaysia. Atau ‘pasrah’ akibat tekanan berbagai pihak.
Saya masih berkeyakinan itu tidak bakal terjadi. Selain berbagai upaya yang dilakukan Kabinet Kerja akan mampu mengerem laju penurunan rupiah, kedua, rakyat masih percaya Jokowi adalah presiden baik. Pembangunan infrastruktur di berbagI daerah terlihat nyata. Dan ini memberi pemahaman rakyat, bahwa Jokowi memang benar-benar bekerja.
Secara natural, kenaikan dollar sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari. Awam saja paham itu. Impor tinggi tidak diikuti ekspor setara, maka mata uang rupiah pasti akan jatuh. Dan kalau impor itu menggila, maka tinggal menunggu waktu rupiah untuk runtuh.
Akselerasi impor itu menajam sejak pemerintahan SBY. Tidak hanya barang elektronik, tetapi juga pangan dan sandang. Dari susu, daging, buah, gula, gandum, garam, jagung, beras, kedelai, tekstil sampai benih didatangkan dari luar, termasuk saprotan. Saat itulah benih padi hibrida menghapus benih lokal yang ketangguhannya sudah teruji ratusan tahun silam.
Tekstil China yang mendominasi sebelum perdagangan bebas Asean-China kian menggurita ketika perjanjian itu berlaku efektif. Ratusan pabrik garmen negeri ini terpaksa tutup, dan sisanya, produk lokal yang sebelumnya merajai Pasar Tanah Abang berpindah ke Tegal Gubuk, Indramayu.
Ini kian masif ketika jalur distribusi juga ‘diserahkan’ pada asing. Gerai dibuka di seluruh negeri mematikan pasar-pasar tradisional, maka suratan Jangka Jayabaya, ‘pasar ilang kumandangane, kedung ilng sumbere’, terjadilah. Pasar tradisional kehilangan gema karena tidak ada lagi yang belanja. Dan rakyat yang semula bisa memasarkan produk kebun dan ladangnya untuk menambal hidup kehilangan pencarian itu. Mati sudah !
Importasi yang tinggi itu tidak dibarengi regulasi pro petani. Mereka dibiarkan sendiri melawan negara (importir) yang harganya kompetitif. Demi murah dan pembenaran pasar global, pemerintah abai terhadap rakyatnya. Ironi ‘tragedi Kediri’ pun terjadi. Ada petani dipenjarakan perusahaan asing hanya gara-gara menemukan benih jagung yang ditangkar dan ditanam di lahannya sendiri.
Menjadi rakyat di ‘negeri terjajah’ yang dilakukan bangsanya sendiri amatlah dilematis. Hanya karena harus mempertahankan hidup,  maka rakyat beralih profesi. Kuli, karyawan pabrik, TKI dan entah apalagi adalah profesi baru itu. Tani dilupakan. Irigasi diindahkan. Waduk menjadi asing. Dan di dapur pun kini ‘aksesorisnya’ bukanlah poduk dari hasil bercocok-tanam sendiri.
Mbok-mbok di desa pelosok dan tidak tahu peta pun telah akrab dengan barang-barang yang dikonsumsi berasal dari negara lain. Mulai garam dari India, gula dari Thailand, beras dari Vietnam, jagung dari Venezuela, kedelai dari Amerika, pisang dari Brasil, pepaya dari Bangkok, ketela pohon dari Italia, dan seabreg benih sayuran diimpor dari China.
Dan dampak ikutannya lebih payah lagi. Petani sudah kehilangan kemampuan bertani. Penyuluh pertanian yang dulu menjadi teman diskusi petani karena benih dan saprotan yang sudah diakrabi, kini mereka sudah beralih fungsi sebagai penjual dan pembeli. Petani sebagai pembeli, dan penyuluh pertanian menjadi pedagang ‘kaki tangan’ produk asing.
Jika sudah begitu, gonjang-ganjing di belahan sana, pasti menggoncangkan kondisi di sini. Kita menjadi bangsa yang ‘atut grubyuk’. Sekadar peserta. Tidak ikut menentukan nasibnya sendiri, karena sudah digadaikan. Rakyat dijejali produk impor, dimatikan potensinya oleh pemerintahnya sendiri. Kondisi simalakama ini dalam wayang sama dengan situasi saat dalang mengangkat gunungan.
Gunungan dalam pandangan Jawa merupakan simbol mayapada. Jagad raya se-isinya. Baik buruk dikocok di dalamnya. Berlaga saling berebut kuasa. Mirip ‘air suci’ yang diobok-obok dalam belanga di Tantu Panggelaran, kitab kuno di zaman Singasari yang dianggap sebagai takdir manusia hidup di bumi.
Bagi negeri ini, gunungan adalah lambang Nusantara. Bergetarnya gunungan simbol bergantinya masa. Perang kepentingan saatnya kalah dan menang. Awal-akhir mengikuti kodratnya. Dan hanya ada satu penyelamat yang disebut Jimat Kalimasada atau Jamus Kalimasada. Tanpa itu negara ambruk.
Jimat Kalimasada adalah kesempurnaan. Sempurna sebagai negara, sempurna sebagai bangsa. Dalam konteks negeri yang kini dihajar resesi dunia ini, maka jimat itu adalah kemandirian. Mandiri papan, sandang dan pangan. Untuk itu jika ingin menyelamatkan bangsa dan negara, habisi impor kalau mungkin. Ciptakan substitusi barang yang diimpor. Dan gali potensi anak bangsa untuk bersaing dalam percaturan dunia.
Terus bagaimana nasib pemerintahan Jokowi? Rasanya krisis ini bukan hujan sehari yang akan menghapus terik setahun. Ini hanya ‘meriang’. Akan sembuh jika minum obat atau istirahat sejenak. Tapi yang panik dan was-was memang penonton serta yang terlibat dalam ‘permainan’ antara China dan Amerika. Untuk itu kita tunggu apa yang bakal terjadi setelah Jokowi pulang dari lawatannya ke Amerika Serikat bulan Oktober nanti.
*) Djoko Suud Sukahar adalah kolumnis yang juga pemerhati sosial budaya/sosial ekonomi. Penulis tinggal di Jakarta.