BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Jikalahari dan Riau Corruption Trial mendesak Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memantau langsung majelis hakim Saidin Bagariang, Zia Uljannah dan Dewi Hesti Indria, saat sidang Putusan pada Rabu 12 Agustus 2015 di PN Rokan Hilir atas nama terdakwa Kosman Emanuel Siboro karyawan PT Jatim Jaya Perkasa atas perkara kebakaran hutan dan lahan di atas areal PT Jatim Jaya Perkasa.
Â
Pada 2013 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut seluas 1000 ha di atas lahan perkebunan kelapa sawit milik PT Jatim Jaya Perkasa di Kebun Simpang Damar Desa Sei Majo Kecamatan Kubu Babussalam, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. PT Jatim Jaya Perkasa merupakan salah satu anak usaha Wilmar group. Pada 25 Juni 2015 Penuntut umum menuntut terdakwa Siboro 5 tahun penjara, denda Rp 5 Miliar atau seluruh asetnya disita karena terbukti melanggar Pasal 98 ayat (1)1 dan Pasal 116 ayat (1) huruf b2 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Â
“Hasil pantauan sidang Riau Corruption Trial sejak Maret-Juli menunjukkan beberapa kekhawatiran putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan penuntut umum atau malah bebas dari hukuman,†kata Muslim Rasyid, Analis Riau Corruption Trial.
Â
Terkait Hakim Ketiga majelis hakim tidak memiliki sertifitkat lingkungan. Hakim bersertifikat lingkungan hidup merujuk pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan. Pasal 5 jelas menyebut
Perkara Lingkungan Hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup. Bila tidak ada hakim bersertifikat lingkungan, Pasal 21 ayat (2) jelas menyebut dalam hal suatu pengadilan tingkat pertama di peradilan umum dan peradilan tata usaha negara tidak terdapat hakim lingkungan hidup, Ketua Pengadilan tingkat banding menunjuk hakim lingkungan hidup yang ada di wilayahnya secara detasering. Bahkan bagi hakim diberi pedoman khusus berupa Keputusan Ketua MA No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Padahal Wadji Pramono, Wakil Ketua PN Rohil adalah hakim bersertifikat lingkungan hidup. Merujuk Keputusan Ketua Pengarah Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup No: 56/TuakaBin/SK/VII/2014 tentang Nama-nama Hakim Lingkungan Hidup, Wadji Pramono
salah satu hakim yang lulus pada 2014.
Â
Majelis hakim Saidin Bagariang menyebutkan bahwa korpotasi tidak bisa dipidana. Sidang pemeriksaan Ahli Alvi (ahli pidana) menyebut korporasi bisa dihukum. Saidin Bagariang membantah dan mengatakan kepada ahli korporasi tidak bisa dihukum. Padahal merujuk pada UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup subjek
hukum salah satunya adalah korporasi.
Â
Terdakwa mencoba meyakinkan hakim bahwa dirinya tidak bersalah. Terdakwa melalui kuasa hukumnya mengatakan bukan dia yang bertanggungjawab, harusnya asisten afedling enam Simamora, karena dia hanya menjalankan perintah dari manajer perusahaan dan Simamora. Dalam UU PPLH terdakwapun bisa dipidana karena bekerja atas nama badan
usaha PT Jatim Jaya Perkasa. Penundaan sidang empat kali tanpa dibuka oleh majelis hakim. Majelis hakim dominan
membuka sidang di sore hari. Dan saat sidang jelang tuntutan, majelis hakim menunda sidang tanpa membuka sidang. Alasannya jaksa belum menyelesaikan tuntutannya.
Â
Atas dasar kekhawatiran tersebut, Jikalahari dan Riau Corruption Trial mendesak majelis hakim menghukum terdakwa dengan hukuman terberat 10 tahun penjara, denda Rp 5 Miliar karena terbukti sengaja membiarkan lahan PT Jatim Jaya Perkasa terbakar. Bahwa hakim juga harus membuat dalam putusannya tanggungjawab korporasi dan atau direktur korporasi PT Jatim Jaya Perkasa karena sengaja membiarkan lahannya terbakar dengan motif ekonomi.
Â
Komisi Yudisial dan Bawas Mahkamah Agung hadir langsung dalam putusan terdakwa Siboro karyawan PT Jatim Jaya Perkasa. “Putusan hakim yang berpihak pada lingkungan hidup terutama berpihak pada masyarakat Riau yang jadi korban asap dan rusaknya lingkungan hidup akibat karhutla adalah penting. Setidaknya bisa mengurangi penderitaan masyarakat Riau dari kabut asap yang telah terjadi selama 18 tahun terakhir. Di samping itu, hukuman berat dan setimpal semestinya diberlakukan agar perusahaan tidak mengulangi tindakan yang sama di kemudian hari,†kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari. (rilis/melba)