BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Upah sektoral migas Provinsi Riau 2013 ibarat buah simalakama. Maju salah, apalagi mundur makin membuat masalah makin riuh. Para stakeholder yang terlibat kini pun seakan dilanda pikiran ‘linglung’.
Sejak awal, kesepakatan kenaikan upah migas sebesar Rp 720 ribu hingga menjadi Rp 2.250.000 sudah mengagetkan banyak pihak. Kenaikan mencapai 47 persen, dari semula upah migas 2012 hanya Rp 1.530.000. Kenaikan upah ini menembus rekor sejarah kenaikan upah tertinggi di Indonesia. Maklum, biasanya tiap tahun kenaikan upah paling besar berkisar 10 persen hingga 20 persen saja.
Apa pun ceritanya, kenaikan upah migas tersebut saat ini sudah ‘legal’. Sejak perundingan bipartit terakhir yang dilakukan antara serikat buruh/ pekerja dengan Apindo pada 24 April 2013 silam, secara de facto kesepakatan upah sudah dicapai. Sementara, legalitas pemberlakuannya sudah dimulai sejak penerbitan Peraturan Gubri nomor 24 tahun 2013 tentang penerapan upah minimum sektor migas Riau 2013 akhir Mei lalu.
Lantas, mengapa sampai hari pemberlakukan kenaikan upah dan rapelan kenaikan gaji sejak Januari 2013 tak kunjung diterapkan? Siapa pihak yang sebenarnya bertanggung jawab? Tentu semua merasa tak bersalah.
Penting diingat, proses perundingan upah migas 2013 memang diwarnai alotnya perdebatan. Bahkan, tiga kali perundingan terdahulu, berakhir deadlock. Namun, desakan buruh yang menuntut ‘perlakuan lebih manusiawi” akhirnya berhasil meraih keinginannya, seiring persetujuan yang diberikan oleh Apindo. Dalam hal ini, peran SKK Migas turut memberikan lampu hijau dan keyakinan kepada KKKS untuk bersedia bersepakat dengan buruh soal upah.
Namun, masalah baru muncul ketika upah migas Riau 2013 sudah ditetapkan Gubernur Riau. Para perusahaan sub kontraktor migas yang menjadi ‘kacung’ perusahaan KKKS kelabakan tak mampu membayar. Alasannya, nilai kontrak kerja mereka dengan KKKS tak sanggup untuk membayar kenaikan upah, karena besarannya ditetapkan sebelum adanya kenaikan upah. Alasan itu cukup berdasar, namun tak bisa juga dibenarkan. Bagaimana pun dan dalam kondisi apa pun, upah sesuai Pergub harus dibayar.
Nah, perusahaan sub kontraktor dalam klausul kesepakatan upah migas sebenarnya punya ‘jalan keluar’ untuk bisa memenuhi upah tersebut. Perusahaan sub kontraktor, sebagaimana telah mendapat lampu hijau dari SKKK Migas, dibenarkan untuk mengajukan ‘perubahan’ kontrak kerja dengan perusahaan KKKS, yang terbesar adalah PT Chevron Pacific Indonesia. Masalahnya, kini Chevron yang mengaku-aku menghargai hukum di negeri ini justru kembali lepas tangan. Chevron sebagai pemberi kerja, beralibi kalau pembayaran selisih gaji, tak harus menunggu perubahan kontrak.
“Lantas, mau pakai apa kami membayar kenaikan upah tersebut. Sementara, kami kan sebenarnya tak ikut berunding soal upah. Toh, uang perusahaan kami kan berasal dari Chevron dan perusahaan KKKS juga,” kata seorang pemilik perusahaan sub kontraktor migas.
Kini, ketika semua pihak lepas tangan, buruh kembali bergolak. Ibarat perjuangan sudah sampai garis finish, namun wasit tak kunjung mengangkat bendera, buruh pun jadi bingung atas sikap KKKS, SKK Migas dan Pemprov Riau.
“Tiga institusi itu harus bertanggung jawab, atas apa yang terjadi saat ini,” kata Korwil KSBSI Riau, Patar Sitanggang. (tribunpekanbaru)