“Tanpa seorang pembimbing Guru Mursyid maka mustahil engkau bisa menikmati Iman Islam.”
سْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Sahabatku yang setiap saat kudoakan semoga engkau hidup penuh kebahagiaan, penuh rahmat dan berkah Allah Ta’ãlã. Ketahuilah sahabat, aku pernah membaca firman Allah Ta’ãlã dalam Surat Al-Kahfi ayat 17 yang bunyinya:
وَتَرَى الشَّمۡسَ اِذَا طَلَعَتۡ تَّزٰوَرُ عَنۡ كَهۡفِهِمۡ ذَاتَ الۡيَمِيۡنِ وَاِذَا غَرَبَتۡ تَّقۡرِضُهُمۡ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمۡ فِىۡ فَجۡوَةٍ مِّنۡهُ ؕ ذٰ لِكَ مِنۡ اٰيٰتِ اللّٰهِ ؕ مَنۡ يَّهۡدِ اللّٰهُ فَهُوَ الۡمُهۡتَدِ ۚ وَمَنۡ يُّضۡلِلۡ فَلَنۡ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرۡشِدًا ۞
Wa tarasy syamsa idzã thala’at tazãwaru ‘an kahfihim dzãtal yamîni wa idzã gharabat taqridhuhum dzãtasy syimãli wa hum fî fajwatim minh, dzãlika min ãyãtillãh, may yahdillãhu fahuwal muhtad, wa may yudhlil falan tajida lahû waliyyam mursyidã
“Dan engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila matahari itu terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas di dalam (gua) itu. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya“.
Namun, siapakah Waliyyan Mursyidan yang dimaksud dalam firman Allah tersebut, saya mencoba untuk mengungkapkannya.
Sesungguhnya Rasulullah SAW di utus ke dunia bukan sekedar menyampaikan kebenaran dari sisi Allah atau hanya menyampaikan hukum-hukum yang dibolehkan atau dilarang oleh Allah. Namun tentunya ada tujuan yang lebih hakiki dari keberadaan seorang Nabi yaitu agar manusia bisa mengenal Allah dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap saat dan dalam tiap helaan nafasnya. Rasul adalah pembawa wasilah dari sisi Allah dan melalui wasilah itulah manusia bisa berkomunikasi dengan Allah.
Surat Al-Maidah ayat 35 mewajibkan seluruh orang beriman untuk mencari wasilah agar menemukan kemenangan di dunia dan akhirat.
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابۡتَغُوۡۤا اِلَيۡهِ الۡوَسِيۡلَةَ وَجَاهِدُوۡا فِىۡ سَبِيۡلِهٖ لَعَلَّـكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ ۞
Yã ayyuhal ladzîna ãmanut taqullãha wabtaghû ilaihil wasîlata wa jãhidû fî sabîlihî la’allakum tuflihûn
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.”
Wasilah bukanlah amal ibadah (shalat, puasa, zakat dll) seperti yang ditafsirkan secara syariat, karena seluruh amal ibadah hanyalah bentuk dari proses penyembahan terhadap Allah. Shalat, Puasa dan lain-lain hanya akan menjadi ritual hampa, menjadi tradisi dan budaya saja kalau tidak mempunyai ruh dari ibadah itu sendiri.
Ibadah mempunyai unsur dzahiriah dan bathiniah dan keduanya harus ada agar ibadah diterima di sisi Allah SWT. Secara dzahir, anggota badan kita harus mengikuti aturan-aturan yang telah disampaikan Allah kepada Rasul-Nya tanpa melebihkan dan menguranginya. Aturan itu sudah menjadi standar sebagai contoh bentuk gerakan shalat, jumlah raka’at shalat, aturan-aturan puasa, itu semua sudah baku dan tidak bisa ditambah atau dikurangi. Di samping aturan aspek dzahir, ibadah memiliki aspek bathin dan ini merupakan hal yang sangat pokok.
Fisik manusia harus diajarkan cara menyebut nama Allah begitu pula rohani manusia, harus diajarkan cara menyebut nama Allah. Di dunia ini sangat banyak orang yang bisa mengajarkan cara fisik manusia untuk menyebut nama Allah, dalam hal ini kita tidak kekurangan Guru. Akan tetapi Guru yang bisa mengajarkan rohani kita untuk menyebut nama Allah itu sangat langka.
Fisik manusia bisa diajarkan oleh Guru fisik, gerakan shalat, aturan puasa dan lain sebagainya, sementara rohani manusia harus diajarkan oleh rohani pula. Tidak mungkin rohani manusia diajarkan oleh Guru Jasmani, keduanya mempunyai unsur dan sifat yang berbeda.
Rohani manusia diajarkan oleh rohani Rasulullah SAW yang telah berisi Kalimah Allah yang berasal dari sisi Allah.
Unsur Kalimah Allah yang ada dalam diri Muhammad bin Abdullah inilah yang menyebabkan pangkat Beliau bisa menjadi Rasul. Nur Allah yang diberikan kepada Rasul dan orang-orang yang dikehendaki-Nya itulah yang kemudian disebut sebagai Wasîlah.
Di sinilah sebenarnya letak perbedaan antara pengamal tarekat/tasawuf dengan orang yang hanya memahami Islam secara syariat saja. Pengamal tarekat untuk bisa menapaki jalan berguru, terlebih dulu memahami dan menjalankan aturan-aturan Allah yang kita sebut syariat dan aturan itu akan tetap dilaksanakan seterusnya. Pelaksanaan syariat oleh pengamal tarekat tidak lagi hanya sekedar memenuhi kewajiban ibadah akan tetapi mereka sudah masuk kepada alam hakikat dari ibadah itu sendiri.
Untuk bisa menyelami samudera hakikat yang maha luas, diperlukan seorang pembimbing yang ahli di bidangnya agar tidak tersesat. Pembimbing inilah yang dikenal sebagai Guru Mursyid.
Dalam khazanah ilmu tasawuf Guru Mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk hierarki manusia untuk sampai ke tingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi Al-Qur’an telah tertanam dalam dirinya. Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti lebih dalam sehingga masih menjadi sebuah misteri dalam kehidupan manusia. Bahkan pemuka agama sekalipun banyak yang belum mengetahuinya. Guru Mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.
Predikat mulia yang diberikan secara khusus oleh Allah kepada manusia pilihan ini sebenarnya secara gamblang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 17 dengan sebutan “Waliyam Mursyidã”, artinya wali yang mursyid. Kata “Wali” di sini dalam versi kaum Sufi diartikan sebagai figure manusia suci, pemimpin rohani, manusia yang sangat taat beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kata “Mursyid” diartikan sebagai nur Ilahi, cahaya Ilahi, atau energy Ilahi.
… نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يهْدِى ٱللّٰهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ … ۞
“Cahaya di atas cahaya, Tuhan akan menuntun kepada cahaya-Nya, siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nur: 35).
Jadi hakikat Mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk ke dalam rumah wujud barulah ia memiliki wujud. Maka nur Ilahi atau energi Ilahi yang telah mewujud dalam rohani sang guru itulah yang disebut dengan Waliyam Mursyidã.
Mursyid itu tidak banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, hanya penampakan fisiknya. Ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lobang, kelihatan banyak, tetapi hakikatnya hanya satu, sinar itu-itu juga.
Kata Nur (cahaya) yang bermakna mursyid, tidak diartikan sebagai cahaya dalam pengertian bahasa. Mursyid sendiri berasal dari kata “Irsyad” yang artinya petunjuk. Petunjuk yang bersumber dari nur Ilahi. Jika kata “Irsyad” ditambahkan “mim” di depannya maka petunjuk tersebut terdapat pada sesuatu (dimikili oleh sesuatu). Maka “mim” harus diartikan sebagai seseorang yang memegang kualitas irsyad.
Kata Waliyam Mursyidã dalam surah al-Kahfi ayat 17 secara umum diartikan sebagai “pemimpin” dan mursyid pada hakikatnya adalah nur Allah, maka orang yang kita sebut Guru Mursyid itu benar-benar mempunyai kualitas sempurna sebagai pembawa wasilah dari Allah berupa Nur Allah bukan sekedar gelar saja.
Begitu langkanya Guru Mursyid yang benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai mursyid sehingga Imam al-Ghazali mengatakan, “Menemukan Guru Mursyid itu lebih sulit ketimbang menemukan sebatang jarum yang disembunyikan di padang pasir yang gelap gulita”.
Pembahasan yang mendalam tentang Guru Mursyid diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada pengamal tarekat khususnya. Betapa luar biasa orang-orang yang telah memiliki Guru Mursyid yang berkualitas sehingga hidup mereka benar-benar terbimbing ke jalan Allah SWT. Sehingga mereka selalu bersyukur kepada Allah dengan jalan berkhidmat kepada Gurunya dengan penuh adab dan cinta.
Tasawuf pada masa Nabi SAW adalah realita tanpa nama. Sedangkan tasawuf saat ini, adalah nama tanpa realita. Kecuali hanya sedikit yang menjalankan realitanya dalam bimbingan Mursyid yang Sejati.
Tasawuf bukanlah membaca buku-buku Tasawuf dan mengkaji dari berbagai teori tasawuf seperti Ibnu Arabi, Asy-Syadzili, Al-Qadiri, Maulana Jalaluddin Rumi seperti banyak kajian tasawuf di berbagai kampus saat ini. Karena itu berarti sekedar mengenal tasawuf bukan bertasawuf.
Sungguh sangat berbeda jauh antara mempelajari buku atau hadir dalam ceramah tasawuf dan bertasawuf yang sesungguhnya. Dampak dan pemahamannya bagai setetes air dibanding samudera.
Bertasawuf merupakan hubungan antara Guru dan Murid. Bertasawuf adalah melaksanakan dzikir yang diberikan Syaikhnya dan mengambil Mursyid dengan berbai’at. Bertasawuf adalah bersama para guru dalam shuhbah (jama’ah asosiasi) yang juga merupakan Wali Allah. Dengan demikian maka ia akan mendapatkan ilmu sekaligus Hikmah.
Hikmah hanya bisa didapatkan dari mendengarkan langsung dan bersama Wali Allah. Sedangkan ilmu hanya berasal dari guru biasa, ustadz biasa, ulama buku-buku, Ulama Awraq. Sementara bertasawuf adalah mengenal dan mencicipi manisnya spiritual bersama Ulama Adzwãq, Ulama Rasa.
Karena ilmu yang kita pelajari dengan ego dan nafsu terkadang membebani, sementara Hikmah tak dapat terlupa dan menguatkan. Nabi SAW bersabda, “Yang menghancurkan ilmu adalah LUPA”. Kita terlupa seiring dengan bertambahnya umur kita dan menjadi semakin tua.
Ada dua macam ilmu; Ilmu Awrãq (tulisan) dan Ilmu Adzwãq (Rasa).
Hikmah berasal dari rasa, pertemuan langsung dengan Wali Allah, mendengar nasehat dan bimbingannya. Ketika kita mendengar seorang Kekasih Allah berbicara, maka ilmu rasa yang ditransfer langsung ke dalam qalbu kita.
Itu sebabnya Umar bin Khatthab RA, ketika awalnya berencana membunuh Nabi SAW dan ketika berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad SAW, hatinya tersentuh dan ia masuk Islam. Inilah ilmu Rasa yang ditransfer melalui tatapan mata, melalui pertemuan langsung, di mana mereka merubah benci menjadi cinta.
Semoga Allah Ta’ãlã memberikan kita semua hikmah dan ilmu sehingga kita bisa bertemu Waliyam Mursyidã, guru Mursyid yang dengannya kita menuju kepada Allah dan mencintai Allah dan RasulNya secara hakiki. Dan semoga Allah memberi rahmat berupa nikmat Iman Islam. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
Wallãhu A’lam bish-Shawãb.
_________________________________
Oleh: Dr. Supardi, SH., MH.,
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
Als. Rd Mahmud Sirnadirasa