BERTUAHPOS.COM — Jikalahari kembali terbitkan Catatan Akhir Tahun (CAT) Jikalahari 2022 berjudul: Pemulihan Melambat, Kerusakan di Depan Mata.
CAT ini memuat rangkuman informasi dan analisis tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Riau. Mulai dari kondisi tutupan hutan alam Riau, konversi lahan pangan menjadi HTI dan sawit.
Selain itu CAT Jikalahari 2022 juga memuat catatan advokasi Jikalahari, upaya pemulihan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, penegakkan hukum hingga ancaman deforestasi yang tinggi.
“Sepanjang 2022, Jikalahari aktif menyuarakan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Riau. Ada catatan penting, salah satunya pendekatan penanganan kasus lingkungan hidup dan kehutanan oleh Kejaksaan Agung menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
Kejagung menggunakan pendekatan TPPU dalam kasus Surya Darmadi (SD), pemilik Darmex Agro. SD didakwa tindak pidana korupsi dan TPPU karena melakukan kegiatan perkebunan seluas 37 ribu hektar berada dalam kawasan hutan dan tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dengan TPPU, Kejagung mampu membuat SD terpaksa pulang ke Indonesia. Padahal SD sudah ditetapkan tersangka dan menjadi DPO sejak 2019 oleh KPK.
“Ini hebatnya TPPU, Jaksa menyita aset-aset SD yang diduga hasil TPPU dan dengan sendirinya SD pulang ke Indonesia,” kata Okto, “…hingga kini SD tegah menjalani sidang di PN Tipikor Jakarta dan di tahan di Rutan Salemba.”
Di samping hal baru dalam penanganan kasus SD, CAT Jikalahari juga menyajikan hasil analisis deforestasi di Riau. 2 tahun terakhir, Riau kehilangan hutannya seluas 28.781 ha. Deforestasi terbesar terjadi di konsesi HTI seluas 7.905 ha, kemudian di areal konservasi seluas 7.097 ha, izin HGU seluas 2.306 ha serta sisanya berada di areal lainnya.
“Korporasi menjadi penyebab terbesar tingginya deforestasi di Riau. Ini akan terus berlanjut dan ancaman kerusakan lingkungan ke depan semakin dekat, apalagi mulai berjalannya UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Okto.
UU Cipta Kerja semakin mengancam hutan alam tersisa dan melegalkan korporasi dan cukong yang ilegal. Meski pemulihan akan terjadi di masa mendatang setidaknya 25 tahun ke depan.
Di sektor perkebunan sawit, penerapan Pasal 1 10A dan Pasal 110 B memberikan ruang perkebunan sawit yang selama ini berada dalam kawasan hutan menjadi legal.
Khusus pasal 110A, Ada risiko KLHK dapat memberikan izin kepada perusahaan yang kebun sawitnya sudah terbangun dalam kawasan hutan maupun yang belum terbangun -masih hutan alam- selagi di dalam perizinan berusaha (ILOK-IUP). Karena faktanya di Riau, banyak ILOK dan IUP yang diterbitkan dalam kawasan hutan.
“KLHK harus serius dan melibatkan publik dalam memastikan kondisi eksisting di lapangan saat proses inventarisir,” katanya.
Di sektor HTI, deforestasi akan terus dilanggengkan dengan jangka waktu izin yang sangat panjang. Pasal 150 Ayat 1 dan 2 PP Nomor 23 Tahun 2021, turunan dari UUCK menyebutkan izin HTI selama 90 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali atau akan berjalan hingga 180 tahun lamnya.
Celakanya, terdapat 368.566 ha hutan alam di konsesi HTI yang terancam ditebang setiap tahunnya.
Di tengah ancaman deforestasi, pemulihan justru melambat. Salah satunya kebijakan Riau Hijau yang dicanangkan Gubernur Riau Syamsuar belum mampu memulihkan kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau. Di akhir masa jabatan Syamsuar-Eddy Natar Nasution program Riau Hijau justru stagnan.
Beberapa kebijakan yang terbit bertentangan dengan komitmen Riau Hijau. Selain itu, peraturan-peraturan yang sejatinya bisa menjadi tools untuk pemulihan lingkungan hidup dan kehutanan tak kunjung disiapkan.
Misalnya saja revisi Perda RTRWP Riau, pergub tata cara pengakuan masyarakat hukum adat yang menjadi turunan perda 14 Tahun 2018 dan peraturan lainnya.***